Mereka Ramai-ramai Menolak SEMA PK Hanya Sekali

Mereka Ramai-ramai Menolak SEMA PK Hanya Sekali

Andi Saputra - detikNews
Minggu, 04 Jan 2015 15:17 WIB
ilustrasi (dok.detikcom)
Jakarta -

Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran MA (SEMA) tentang PK hanya sekali, karena PK berkali-kali menimbulkan ketidakpastian hukum. Tak sedikit yang menolak dengan alasan SEMA ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

"SEMA merupakan keputusan pejabat administrasi negara di lingkungan MA yang bukan melaksanakan kewenangan yudisial, berbeda dengan putusan MK yang merupakan putusan hakim yang bersifat yudisial," kata hakim agung Prof Dr Gayus Lumbuun kepada detikcom, Minggu (4/1/2015).

Surat Edaran, termasuk SEMA, tidak termasuk dan tidak diatur pada pasal 7 dan 8 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Surat Edaran banyak digunakan di banyak lembaga negara juga swasta yang bersifat memberikan perintah atau petunjuk bagi jajaran di bawahnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Oleh karena itu, kejaksaan akan menyimpang kalau melakukan tindakan eksekusi terutama eksekusi hukuman mati," tegas Gayus.

Menurut Gayus, MA boleh saja mengisi kekosongan norma tersebut demi kelancaran peradilan, tetapi tidak boleh bertentangan dengan putusan MK tersebut. Seperti dengan Peraturan MA (Perma) dengan menentukan berapa kali PK dapat diajukan tetapi harus lebih dari satu kali.

"Kejaksaan akan sangat berisiko apabila dengan dasar SEMA Nomor 7 tahun 2014 yang membatasi PK hanya satu kali karena seharusnya kejaksaan wajib mengacu putusan MK dan bukan SEMA yang lebih merupakan perintah atau petujuk MA kepada jajaran di bawahnya," cetus guru besar hukum administrasi negara ini.

Hal senada juga dilontarkan pakar hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono. Meski ia menolak PK berkali-kali dan menolak putusan MK terkait hal itu, tapi ia menentang SEMA terkait. Menurutnya, dalam kasus suatu peraturan perundang-undangan yang isi atau substansinya sangat baik/adil sekali pun, tapi jika pembentukannya tidak memenuhi asas formil, maka peraturan tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam konteks SEMA bukanlah peraturan perundang-undangan (regelling) maupun keputusan tata usaha negara (beschikking), SEMA masuk kategori peraturan kebijakan (beleidsregell) atau peraturan perundang-undangan semu (pseudo wetgeving).

"Agar peraturan kebijakan yang dibentuk banyak manfaat dibanding kerugiannya sebaiknya asas-asas tersebut dipedomani dalam pembentukan peraturan kebijakan," ujar pengajar Universitas Jember ini.

Kritikan juga dilontarkan Komisi Yudisial (KY). Komisioner KY Imam Anshori Saleh mengaku kaget mengetahui SEMA tersebut karena bertentangan dengan putusan MK.

"Putusan MK itu sejajar dengan UU, prinsipnya peraturan yang lebih tinggi harus dimenangkan dari yang lebih rendah," ujar Imam yang masih 5 besar calon hakim konstitusi itu.

Setali tiga uang, pakar hukum tata negara Dr Irman Putrasidin menyatakan SEMA tersebut bertentangan dengan putusan MK dan inkonstitusional. Sebab putusan MK merupakan produk hukum yang harus dipatuhi dan menjadi hukum positif.

"Negara tidak boleh malas untuk melayani pencari keadilan untuk kehidupan dan kebebasan setiap umat manusia selamat terdapat keadan baru yang bisa membuktikan sebaliknya," cetus Irman.

Bisa jadi para ahli hukum tata negara dan hukum administrasi negara mengkritik SEMA tersebut. Tapi ahli hukum pidana sebaliknya, SEMA Nomor 7 sangat dibutuhkan. Berikut kutipan pandangan para ahli pidana itu:

Dr Hatta Ali (Ketua MA/hakim agung Kamar Pidana)
Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya 1 kali

Suhadi (Hakim agung Kamar Pidana)
Bukan mengesampingkan (putusan MK), tapi orang (terpidana) kan boleh berandai-andai jika saya PK lagi akan begini. Kan boleh saja berandai-andai. Tapi sampai kapan?

Prof Dr Krisna Harahap (hakim ad hoc tipikor pada tingkat kasasi)
Keadilan untuk siapa? Keadilan itu relatif, tidak mungkinlah menemukan keadilan bagi semua pihak karena keadilan mutlak hanya milik Allah. Faktor lain harus juga diperhatikan, tidak bisa dikesampaingkan

Prof Dr Komariah Emong Sapardjaja (mantan hakim agung, guru besar Universitas Padjdjaran)
Bagus, buat pegangan pengadilan di bawah supaya tidak ragu-ragu apabila ada yang mengajukan PK kedua kali atau lebih, langsung tidak diterima dan tidak perlu dikirim ke MA. Kepastian hukum itu penting.

Dr Ridwan Mansyur (Hakim tinggi pidana/Kepala Biro Hukum dan Humas MA)
Ini untuk memberikan kepastian hukum. Terkait pelaksanaan eksekusi pidana mati, MA mengharapkan apa yang menjadi putusan hakim, dieksekusi.

(asp/tor)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads