Tahun sebentar lagi berganti. Sebagaimana lazimnya pergantian tahun, maka prediksi dan ramalan menyertai pergantiannya. Itu karena saban manusia pasti punya harapan. Dan saban insan pasti punya keraguan terhadap tahun yang akan ditapaki.
Menutup tahun 2014, berbagai bencana datang silih-berganti. Gelombang tinggi terjadi di lautan. Banjir menggenangi daratan. Tanah longsor menelan jiwa terjadi di banyak daerah. Dan gunung yang ada di Ternate, Gamalama, memuntahkan laharnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kosmologi Jawa dikenal tiga skenario besar sebagai gambaran zaman yang akan dilalui umat manusia, terutama yang hidup di Nusantara. Pertama adalah Zaman Kalabendu yang identik dengan kekelaman. Zaman ini segala kehidupan kacau. Yang menikmati kekacauan itu hanya satu kelompok, yaitu penguasa.
Yang kedua adalah Zaman Kalatidha, zaman transisi. Ini tergambar dalam karya Raden Ngabehi Ronggowarsito yang mengurai tentang kehidupan pribadinya di era kepemimpinan raja yang mencurigainya. Intrik dan fitnah menggeliat, dan itu menempatkan sang pujangga dalam situasi yang sulit.
Sedang yang ketiga adalah Zaman Kalasuba, zaman yang memberi harapan, zaman gemilang. Di zaman ini kehidupan mulai tertata. Peri-kehidupan dan keadilan mengemuka. Para durjana terseok-seok hidupnya. Dan saat itulah era yang disebut sebagai ‘keleme gabus, kambange watu item’ setapak demi setapak terbukti. Orang baik mulai tampil sebagai pemimpin. Dan yang bejat mulai tersingkir.
Memasuki zaman menuju harmoni jagad itu kehidupan tak langsung tenteram tanpa dinamika, terutama politik. Sebab para durjana yang mulai tersingkir itu akan melakukan perlawanan. Dengan kuasa dan seabreg harta yang dipunya akan menggalang kekuatan agar kembali berkuasa. Itu menimbulkan suasana panas, bahkan bisa sampai chaos.
Di tengah kecaggihan teknologi informasi, serat dan jangka juga tidak luput dari penyimpanan interpretasi. Ditambah apologia dari CC Berg, sejarawan Belanda yang menyebut serat tulisan para pujangga Jawa adalah sastra puja, serta van Akkeren yang menukil mistisisme Jawa, maka di jejaring sosial kini bertebaran serat-serat yang bernuansa provokasi.
Memahami serat tidaklah bisa hanya bersandarkan pada akal. Dibutuhkan rasa yang jernih, memboyong filosofi ‘ngelmu kuwi kanthi laku’, ajar itu dijalani. Ini bersifat surealistis, seperti yang diungkap Mangkunegara IV dalam Wedhatama yang menghasilkan simpulan, urip sak derma ngelampahi. Hidup itu sekadar menjalani. Hening tanpa pretensi. Tapi bagaimana melihat tabir di balik itu?
Dari hening itulah terbentang jawaban. Hati bisa merasakan. Dari sini jawaban itu menyiratkan, bahwa tahun 2015 adalah gerbang menuju Zaman Kalasuba itu. Sebuah zaman yang pelan tapi pasti, azab Allah datang mengubur para durjana dan menaikkan derajat manusia yang istiqomah.
Di belahan dunia lain, para penafsir Nostradamus juga memberi tengara sama. Memang tafsir mereka ini bertolak belakang dengan prediksi tentang apa yang terjadi di tahun 2014. Namun interpretasi mereka tentang tahun 2020 sebagai tahun keemasan rasanya mendekati kebenaran. Setidaknya ini berlaku untuk kawasan Asean. Akankah itu akan terbukti?
Sebagai manusia, kita selalu berharap kehidupan berjalan tenang, tenteram dan damai. Sebagai bangsa kita juga berharap Nusantara gemah ripah, makmur dan sejahtera. Untuk itu prediksi ini tempatkan seperti itu. Sebagai doa untuk kebahagiaan saya, kita, dan seluruh rakyat negeri ini.
*) Djoko Suud Sukahar adalah budayawan, tinggal di Jakarta.
(nwk/nwk)