Kenangan Raihan Lubis Saat Lolos dari Kejaran Tsunami 10 Tahun Lalu

10 Tahun Tsunami Aceh

Kenangan Raihan Lubis Saat Lolos dari Kejaran Tsunami 10 Tahun Lalu

- detikNews
Kamis, 25 Des 2014 09:30 WIB
Jakarta -

Gempa berkekuatan 9,1-9,3 skala richter (SR) mengguncang Aceh pada 26 Desember 2004 silam. Gempa yang memicu gelombang tsunami ini meratakan Aceh dan menyebabkan ratusan ribu nyawa melayang.

10 Tahun telah berlalu, namun Raihan Lubis, kenangan pahit itu masih melekat di ingatan Raihan.

Suasana tenang Minggu, 26 Desember 2004 pagi, sontak menjadi panik. Gempa dahsyat berkekuatan 9,1-9,3 SR mengguncang bumi Serambi Mekah. kejadian ini memancing naluri jurnalis Raihan Lubis untuk melakukan peliputan. Kebetulan saat itu posisi dia berada tak jauh dari Hotel Kuala Tripa, Banda Aceh.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menggunakan sebuah mobil jip tua yang baru saja diservis, Raihan bersama suaminya yang juga seorang jurnalis salah satu media asing itu mendatangi hotel Kuala Tripa.

Begitu tiba, hotel empat lantai yang berada di jantung Banda Aceh itu sudah rata dengan tanah akibat gempa. Raihan dan suaminya langsung mengambil kamera video merekam dan melakukan wawancara beberapa orang yang selamat dari reruntuhan gedung hotel tersebut.

"Gedungnya ambles, rata dengan tanah dan keetulan di sana sedang banyak yang menginap karena musim haji. Ada banyak pramugari dan saya berniat untuk mewawancarai mereka," kenang Raihan saat berbincang dengan detikcom, Rabu (24/12/2014).

Suami Raihan saat itu bilang dia mendapat kabar Mesjid Raya Banda Aceh juga rubuh. Pasangan pewarta ini pun kemudian berencana untuk meninjau lokasi.

"Ternyata di sana cuma retak. Tapi suami saya tetap mengambil gambar dan saya disuruh untuk tetap di mobil yang parkirnya sekitar 50 meter dari masjid," terang Raihan.

Tak lama kemudian, lanjut Raihan, di belakang mobil dia melihat warga ramai berlarian. Seketika jalanan penuh dan arus lalu lintas menjadi padat.

"Ada ibu-ibu teriak ke saya, suruh saya pergi dari lokasi itu karena air laut naik. Saya bingung, air laut dari mana kok bisa naik," kata Raihan yang kemudian panik lalu menghampiri suaminya.

Suami Raihan saat itu tak percaya dengan kabar air laut naik, namun tak lama berselang gelombang air pun terlihat. Seketika Raihan dan suaminya bergegas ke mobil untuk meninggalkan lokasi, dengan kondisi tetap merekam video.

"Kebetulan mobil kita jip terbuka. Saat itu ada sekitar sepuluh orang yang langsung naik ke mobil untuk menumpang. Suasana panik. Warga berlarian menuju dataran yang lebih tinggi," cerita perempuan yang kini bekerja sebagai konsultan PR ini.

Suami Raihan saat itu memutuskan untuk menuju ke rumahnya, karena teringat orang tuanya. "Suami saat itu bilang apapun yang terjadi tetap harus ke rumah selamatkan ibu dan keluarganya. Saya pun ikut," katanya.

Setibanya di Jalan Teuku Umar, arus lalu lintas tersendat, macet total. Suaminya yang memegang kemudi banting stir mencari jalur alternatif. Air di belakang terus mengejar. Berpikir cepat saat itu sang suami mencoba mencari jalan menghindari air. Di tengah perjalan panik itu, suami Raihan melihat dua orang nenek yang salah satunya buta. Suaminya pun sempat turun untuk menaikkan kedua nenek itu ke atas mobil.

"Lebih dari 15 orang di belakang mobil sudah. Suami saya tetap mencari jalan dan bilang saat itu, apapun yang terjadi kita tetap di mobil dan menuju rumah," terang Raihan.

Setibanya di perempatan jalan, air terlihat datang dari beberapa penjuru. Namun saat itu posisi kendaraannya berada di arah yang tidak dituju air dan terdapat beberapa ruko yang menahan air.

"Kita nggak tahu mau ke mana lagi. Terus tiba-tiba, di tengah kepanikan mertua dan tanteku datang menghampiri mobil. Semua masuk ke mobil. Di depan itu kita ada 6 orang, sementara di belakang sudah belasan bahkan lebih," jelas Raihan.

"Kita melanjutkan perjalanan dan akhirnya stuck di depan terminal bus Setui. Mertua aku bilang kita di sini saja, apapun yang terjadi. Katanya air di depan jauh lebih tinggi. Saat itu kita sudah pasrah, bermaaf-maafan. Namun tiba-tiba di tengah kepanikan, airnya surut dan perlahan tinggal sejengkal. Dan saat saya turun, airnya terasa hangat dan mengeluarkan aroma yang khas. Aroma amis namun khas," terang Raihan.

Setelah beberapa jam, Raihan dan keluarga memutuskan untuk menuju rumah. Setibanya di rumah, dia melihat banyak mayat bergelimpangan menyatu dengan gunungan sampah. Di kanan kiri jalan terlihat ada mayat yang tergeletak, warga yang terluka dan bahkan ada yang berusaha jalan meski dalam kondisi sekarat.

"Bahkan setelah tiba di rumah, saat itu air masih sepinggang. Ada mayat perempuan tanpa busana yang hanyut, kita coba evakuasi. Saat itu kebetulan ada kain dan celana yang dibawa air, lalu kita pakaikan. Ada lagi mayat yang tersangkut seng, saat itu kondisinya masih hidup namun kritis, tapi kita coba selamatkan," kata Raihan.

Kenangan itu masih segar di ingatan Raihan. Selama empat hari Raihan dan suaminya berpindah-pindah tempat untuk mengungsi. Mereka juga sempat hanya tidur di mobil, tanpa logistik yang memadai.

Selama empat hari itu pula dia tidak berkirim kabar baik kepada keluarganya di Medan maupun kepada kantornya di Jakarta. Bahkan dirinya sempat dikabarkan hilang.

"Setelah itu, suami saya pergi ke kota untuk mencari bahan makanan. Akhirnya bertemu dengan rombongan wartawan dari Jakarta. Saat itu kita mulai melakukan kontak dengan keluarga dan kantor," terang Raihan yang pernah menjadi reporter detikcom ini.

Di hari kelima, Raihan pulang ke rumah orang tuanya di Medan. Seminggu setelah itu dia kembali ke Aceh untuk melakukan tugasnya sebagia jurnalis dengan perasaan campur aduk melihat kondisi saat itu.

"Bau khas air tsunami saat itu masih lengket di otak saya. Bahkan bau air itu juga susah hilangnya dari rumah, lengket sampai bertahun-tahun meski tembok rumah sudah dicat berulang kali," kenang Raihan.

(jor/kff)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads