Tsunami, 10 Tahun Kemudian
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Tsunami, 10 Tahun Kemudian

Rabu, 24 Des 2014 13:21 WIB
Azhari Aiyub
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Saya tidak berada di Aceh ketika 10 tahun lalu tsunami menghancurkan Aceh. Untuk menggambarkan bencana tersebut, kata β€œkehancuran” akan sering saya pakai dalam tulisan ini karena saya tidak punya kata-kata lain untuk menggantikannya.

Saya tiba di Aceh dua hari kemudian, pada hari itu juga saya terlempar ke dalam sebuah pusaran kekacauan yang, berdasarkan pengalaman pribadi saya, masih belum berakhir hingga sekarang. Seperti kebanyakan orang lain, bencana ini telah merampas hal yang teramat berharga dalam kehidupan kami.

Beberapa waktu yang lalu, saya ditanya oleh seorang wartawan asing: bagaimana kamu berdamai dengan kehilangan ini?--tentunya bukan pertanyaan pertama dan terakhir. Saya jawab, belum bisa. Setidaknya momentum 10 tahun tidak cukup berguna dalam kasus ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat menulis kolom ini, saya mempertimbangkan berkali-kali sebelum akhirnya memutuskan untuk memulainya dengan hal yang sangat personal, terutama untuk melihat apa pentingnya bencana yang paling mengerikan dalam sejarah modern umat manusia ini dikenang dan diperingati. Setiap tahun, saya tidak pernah mau memperingati kejadian ini. Karena, menurut saya, memang tidak ada sisi yang menyenangkan dari kejadian ini yang pantas untuk diperingati.

Peringatan untuk kejadian ini menjadi sesuatu yang sangat pribadi, sulit untuk dibagi kepada orang lain, walaupun saya ingin sekali melakukannya dan orang lain mungkin sangat ingin berempati. Tidak ada yang dapat menduga perasaan siapa pun pada momen-momen seperti ini. Kesedihan telah menjadi gaib.

Pemerintah sendiri memperingati bencana ini setiap tahun. Tahun pertama dan kedua masih terasa sederhana dan khidmat, mungkin karena latar untuk itu masih alami, masih ada puing-puing bekas tsunami yang menakutkan serta tengkorak para korban masih ditemukan di antara reruntuhan.

Tapi, setelah rumah-rumah berdiri dan jalan-jalan diperbaiki, dari tahun ke tahun saya melihat tujuan dari seremoni peringatan kian kehilangan sisi untuk menghormati perasaan berduka para korban. Peringatan tsunami dalam dua tahun terakhir semakin terlihat untuk mempromosikan industri pariwisata. Mengundang orang-orang untuk terlibat dalam dukacita, dalam kehancuran, yang mungkin tidak pernah bisa mereka rasakan walaupun mereka telah berusaha mencobanya.

Pemerintah setiap tahun selalu berpesan kepada para korban agar jangan terjebak dalam ingatan yang buruk dan dapat mengambil hikmah atas apa yang telah terjadi. Lalu, dalam dua tahun terakhir ini juga, pemerintah berusaha menunjukkan keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai dalam upayanya mengatasi kehancuran tersebut. Pemerintah selalu punya harapan bahwa pencapaian dapat menggantikan apa-apa yang telah hilang di masa lalu.

Setelah tsunami menghancurkan Aceh 10 tahun lalu, sekilas wajah Aceh memang berubah. Tidak ada lagi puing-puing berserakan sebagaimana pemandangan yang umum terlihat pada tiga tahun pertama bencana. Orang-orang yang datang ke Aceh setelah bencana itu dan tidak sempat melihat betapa dahsyatnya kehancuran sering gagal saat mencari jejak-jejak kehancuran. Setelah 10 tahun, seolah-olah seperti tidak terjadi apa-apa di Aceh.

Menjelang peringatan 10 tahun tsunami, di media sosial beredar foto-foto yang mencoba membandingkan keadaan sebelum dan sesudah tsunami. Foto-foto perbandingan itu akan membuat siapa pun takjub karena, sepuluh tahun lalu, perasaan putus asa membuat siapa pun tidak dapat diyakinkan bahwa kehancuran dapat dengan mudah diatasi.

Saya tidak yakin Aceh patut merayakan pencapaian atas keberhasilan yang dilalui setelah 10 tahun tsunami. Makna β€œberhasil” tentu mempunyai beragam perspektif. Salah satunya adalah perspektif para korban yang selama bertahun-tahun diasingkan dalam proses pemulihan tersebut, terutama cerita-cerita tidak menyenangkan para korban saat berhubungan dengan pemerintah dan donor selama berlangsungnya proses rehabilitasi dan rekonstruksi.

Setelah 10 tahun berlalu, di luar bingkai foto-foto perbandingan itu, sulit untuk menemukan satu contoh saja apa yang telah berubah secara mendasar di Aceh dan perubahan ini punya pengaruh jangka panjang. Setiap berbicara tentang bencana besar dan apa yang telah berubah setelah hari itu, gempa tahun 1755 di Lisbon biasa dijadikan perbandingan. Gempa di Lisbon telah menghancurkan bukan saja Ibu Kota Portugal, yang waktu itu merupakan salah satu kota terkaya di Eropa akibat perdagangan budak dan rempah-rempah, tetapi juga telah menggoyangkan kepercayaan dan sendi-sendi sosial masyarakat.

Pertanyaan apakah Tuhan terlibat dalam bencana itu dan apakah bencana itu azab yang diturunkan Tuhan untuk menghukum mereka yang berdosa dan di mana posisi mereka yang tidak berdosa dalam azab tersebut bersaing dengan pertanyaan apakah azab ini dapat dihindari apabila ikatan batu rumah kita cukup kuat. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini diyakini menjadi salah satu babak yang cukup penting dalam mengubah wajah Eropa secara mendasar, baik secara budaya, politik, sains, dan filosofi menjadi satu mata rantai yang tidak terpisahkan dari peristiwa lain yang mendahuluinya atau yang terjadi kemudian. Dari sudut pandang itu, bencana yang satu memang dipercaya menciptakan bencana yang lain dan kadang kala lebih mengerikan seperti Perang Dunia I dan II, tapi sekaligus menyempurnakan upaya-upaya untuk menanggulangi kerusakannya.

β€œApa lagi? Kita kubur orang mati dan kita beri makan mereka yang hidup,” demikian kalimat terkenal yang diucap oleh Marquis of Pombal, patriark Kota Lisbon saat itu. Di Aceh, ekskavator-ekskavator memang telah menguburkan orang-orang yang mati dalam bencana tsunami. Tapi sulit untuk menjawab bahwa orang-orang yang selamat dari bencana itu telah diberikan kehidupan yang layak, makan yang layak.

Banyak orang menyebutkan bahwa tsunami 2004 telah menciptakan perdamaian di Aceh serta mengakhiri perang yang telah berlangsung selama 30 tahun. Tidak ada keraguan tentang hal ini. Kalau tsunami 2004 yang telah merenggut 130.000 jiwa dianggap sebagai harga yang harus dibayar untuk terciptanya keadaan tersebut, perdamaian harusnya menjadi peristiwa lain yang tidak kalah penting untuk memulihkan apa yang telah hancur selama perang dan kesempatan bagi orang-orang yang teraniaya selama konflik untuk mendapatkan keadilan.

Hadiah Nobel yang diterima Presiden Martti Ahtisaari karena perannya dalam perdamaian di Aceh harusnya punya tujuan ganda, bukan hanya untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak di masa mendatang, sekaligus memberi kepastian terhadap upaya penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu.

*) Azhari Ayub, Direktur Komunitas Tikar Pandan, Pendiri Sekolah Do Karim dan alumni Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia-Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Kolom ini sudah dimuat di majalah detik edisi 22-28 Desember 2014.

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads