Tentang Dokter Cantik dan Kenangan Relawan Saat Membantu Korban Tsunami

10 Tahun Tsunami Aceh

Tentang Dokter Cantik dan Kenangan Relawan Saat Membantu Korban Tsunami

- detikNews
Rabu, 24 Des 2014 10:51 WIB
AFP
Jakarta - Saat gempa dan tsunami melanda Aceh tahun 2004, ribuan relawan dari dalam dan luar negeri berbondong-bondong mencari akses menuju Aceh. Mereka rela menembus banjir hingga merogoh kocek pribadi demi membantu saudara-saudaranya yang tertimpa musibah di bumi rencong.

Achmad Syamsuddin, salah satu relawan tersebut. Pada tahun 2004, dia tergabung di keluarga besar Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Achmad masih duduk di semester IV.

Hari kelima setelah tsunami, mereka mulai mengirim relawan ke Aceh. Keesokan harinya, para relawan bisa berangkat menggunakan kapal TNI AL dari Pelabuhan Tanjungpriok. Tim pertama terdiri dari 15 orang berangkat menuju Meulaboh. Sementara Achmad bagian dari tim kedua berangkat lewat jalur udara pada hari ke 10.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setibanya di Aceh, Achmad masih merasakan bau anyir mayat di mana-mana. Banyak juga jenazah yang belum dievakuasi.

"Setiap pagi sejak pukul 07.00 WIB, semua relawan bergerak, jika ada truk TNI dan membunyikan sirine itu tandanya ratusan mayat sedang lewat," ceritanya dalam email ke redaksi@detik.com, Kamis (24/12/2014).

"Jenazah yang sudah lebih sepekan belum dievakuasi akan mengeluarkan bau busuk dan cairan berbahaya. Relawan biasanya menggunakan masker yang diselipkan kopi di lipatan masker untuk melawan bau anyir," tambahnya.

Sarung tangan dan sepatu boots menjadi pakaian wajib para relawan. Kala itu, Achmad dan relawna lain mendirikan tenda di depan masjid pasar Lampeuneurut, kawasan yang sebelumnya rawan penembakan Gerakan Aceh Merdeka. Saat itu, tiap harinya gempa kecil kerap terjadi, sehari lebih dari 10 kali.

"Jika siang hari, sebagian dari kami ada yang evakuasi jenazah dan membagi sembako serta obat-obatan. Di sore hari kami mengumpulkan anak-anak kecil yang kehilangan anggota keluarganya, mereka tampak riang seolah tak terjadi apa-apa," kenang Achmad.

"Tapi saat ada yang bertanya di mana Ibu dan Bapaknya, sontak yang ditanya menangis, anak-anak itu tidak bisa berkata-kata, dan kami pun melanjutkan memberi dongeng yang menghibur," ceritanya lagi.

Minimnya tenaga medis saat tsunami Aceh membuat relawan juga turut membantu menjadi apoteker dadakan. Mereka diajari hanya 30 menit untuk cara membaca resep dokter. Lama kelamaan para relawan pun menjadi ahli.

Lalu, Achmad punya cerita menarik. Setiap hari, saat relawan mulai membuka pengobatan gratis, calon pasien pun antre panjang. Anehnya, hanya dokter yang berparas cantik yang panjang antreannya.

"Biar cepat sembuh Pak, kami sudah stres oleh tsunami,” ujar Achmad yang menirukan ucapan salah seorang pasien tsunami rela mengantre di dokter cantik.

Setelah 10 hari di sana, Achmad pun pulang menggunakan pesawat Hercules TNI AU.

Cerita relawan lainnya datang dari Heru Purwoko. Dia juga tergabung dalam mahasiswa di Jakarta yang mengumpulkan sumbangan lalu berangkat ke Aceh untuk menjadi relawan. Tak mudah menjangkau Aceh kala itu. Dia harus menembus banjir dan hadangan lainnya.

"Setelah berkoordinasi di Medan, berangkatlah saya dan teman Saudara Rifadri Julfiansyah menuju NAD, di perjalanan menuju NAD sempat terhadang banjir besar di Tamiang perbatasan Medan-Aceh. Sempat satu malam tertahan di lokasi banjir," ceritanya lewat email ke redaksi@detik.com.

Setibanya di Aceh, dia melihat rumah-rumah yang hancur, hingga kapal yang berada di atas rumah maupun di tengan permukiman warga. Bau mayat terus terus menyengat.

"Di hari pertama mencari jenazah di daerah Blangpidi sempat merasakan mual ketika mengangkat tubuh manusia yang kondisi sudah tidak utuh, setiap hari menemukan mengangkat jenazah mayat lama lama rasa mual tersebut hilang dengan sendirinya," ungkapnya.

Setelah 40 hari, Heru pun pulang ke Jakarta. Dia pun mengambil hikmah dan pelajaran selama di Aceh menjadi relawan.
Β 
"Di Aceh 10 tahun lalu kita bisa merasakan betul bahu membahunya segenap komponen masyarakat untuk membantu korban tsunami bukan hanya dari dalam negeri saja, tapi dari negara-negara semuanya menembus medan demi satu kemanusiaan. Kita sempat berpikir kenapa ketika ada bencana musibah, persatuan tersebut baru terlihat," kenangnya.

(mad/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads