Putusan MA Preseden Buruk dalam Memerangi Kekerasan Dalam Rumah Tangga

KDRT Kakek Sidarta

Putusan MA Preseden Buruk dalam Memerangi Kekerasan Dalam Rumah Tangga

- detikNews
Selasa, 23 Des 2014 09:49 WIB
Meutya Hafid (dok.pri)
Jakarta -

Putusan Mahkamah Agung (MA) menerima pencabutan perkara Kamini terhadap suaminya yang menganiayanya, Sidarta (60) karena Kamini telah memaafkan suaminya. Hal ini dinilai menjadi preseden buruk terhadap upaya negara dalam memerangi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

"Pengaduan di 2014, kasus KDRT di Indonesia sebanyak 11.791 kasus, naik dari 8.315 kasus dibanding tahun 2012," kata Ketua International Forum of Parlementarian on Population and Development (IFPPD) Indonesia, Meutya Hafid kepada detikcom, Selasa (23/12/2014).

Data Komnas Perempuan mengatakan angka realnya jauh lebih tinggi karena ribuan bahkan mungkin puluhan ribu lainnya tidak melapor. Mereka yang melapor biasanya sudah melewati perang batin yang cukup panjang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Alasan utama karena ketakutan, malu dan menganggap aib. Akibatnya KDRT dianggap lumrah. Terhadap pandangan ini, konferensi internasional di Wina munculkan semboyan, The Personal is Political," ujar anggota DPR dari Partai Golkar itu.

Menurut Meutya, persoalan pribadi sekalipun, jika rentan berbahaya bagi orang banyak, harus dibawa ke publik. KDRT berdampak pada psikis anak-anak, sebagian bahkan dilakukan satu paket dengan anak-anak.

"MA sepatutnya dalam mengambil dasar putusannya, menyadari dan mempertimbangkan dampak putusan tersebut terhadap puluhan ribu korban perempuan yang dianiaya di rumahnya sendiri," cetus Meutya.

"Dalam KDRT, kecenderungan yang terjadi pada perempuan, 10 kali dianiaya, 10 kali juga memaafkan. Maaf dan proses hukum, dua hal yang berbeda," sambung mantan presenter itu.

Kasus terakhir yaitu putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan pencabutan perkara kasus KDRT atas terdakwa Sidarta. Kakek berusia 60 tahun itu menganiaya istrinya, Kamini. Tapi saat Kamini hendak mencabut aduannya, Pasal 75 KUHP menghambat Kamini untuk mencabut laporannya. Siapa nyana, MA mengabulkan permohonan pencabutan itu dan loloslah Sidarta dari ancaman pidana.

"Keterlambatan pencabutan pengaduan saksi korban, jangan dimaknai secara legalistic positivic, tetapi lebih dimaknai penyelesaian secara damai berkeadilan yang menguntungkan saksi korban dan terdakwa demi terciptanya kebenaran dan keadilan," putus hakim agung Zaharudin, Surya Jaya dan Suhadi dengan suara bulat.

(asp/trq)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads