Maaf Istri Selamatkan Suami dari Bui, Apakah Semua KDRT Harus Dipidana?

Maaf Istri Selamatkan Suami dari Bui, Apakah Semua KDRT Harus Dipidana?

- detikNews
Selasa, 23 Des 2014 09:05 WIB
ilustrasi (ari saputra/detikcom)
Jakarta -

Kamini memaafkan penganiayaan yang dilakukan suaminya, Sidarta (60) dan mencabut laporannya. Meski telah lewat tenggat waktu pencabutan perkara, Mahkamah Agung (MA) menganimininya dan Sidarta terlepas dari ancaman 5 tahun penjara.

Menurut sosilog Musni Umar, tidak semua perkara kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) harus dipidanakan.

"Tidak semua harus dipidanakan. Proses pidana ini sangat panjang, melelahkan. Yang menang jadi abu, yang kalah jadi arang. Nggak ada untung. Uang habis, keluarga berantakan, anak menjadi korban," kata Musni kepada detikcom, Selasa (23/12/2014).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan munculnya putusan pidana, maka tujuan rumah tangga bisa terbengkalai. Suami yang dipenjarakan juga bisa mengalami trauma dan menyimpan dendam. Anak yang seharusnya bahagia, bisa ikut mengalami dampak psikis.

"Lebih baik dengan menyelesaikan secara hukum adat. Kalaupun nantinya bercerai, bisa lebih bermoral dan tidak menyakiti kedua belah pihak, berpisah dengan baik-baik sehingga tidak ada rasa dendam dan hubungan kekeluargaan masih bisa terhubung," ujar Musni.

Menurut Wakil Rektor Universitas Ibnu Khaldun ini, cara terbaik adalah dengan menyelesaikan masalah lewat hukum adat setempat. Yaitu menghadirkan tokoh masyarakat, tokoh agama atau Ketua RT untuk memberikan solusi berdasarkan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat itu.

"Biar hukum adat mendamaikan dan tokoh masyarakat membuat perjanjian di antara pasangan itu, bahwa suami tidak menyakiti istri lagi, begitu juga sebaiknya, istri harus menghormati suami. Ada penyelesaian internal," papar Musni.

Pandangan sempit apa-apa harus dibawa ke pengadilan bisa membuat marwah keluarga menjadi luntur.

"Sehingga kita lihat, ada anak yang menggugat orang tuanya," terang Musni.

KDRT yang dipidanakan adalah KDRT yang benar-benar sudah di luar batas kemanusiaan seperti kekerasan yang terus terulang dan penganiayaan yang sangat berat. Jika percekcokan rumah tangga dan rona-rona rumah tangga, menurut Musni, sebaiknya diselesikan secara adat.

"Hanya kasus besar yang berulang yang dipidanakan," paparnya.

Kasus terakhir yaitu putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan pencabutan perkara kasus KDRT atas terdakwa Sidarta. Kakek berusia 60 tahun itu menganiaya istrinya, Kamini. Tapi saat Kamini hendak mencabut aduannya, Pasal 75 KUHP menghambat Kamini untuk mencabut laporannya. Siapa nyana, MA mengabulkan permohonan pencabutan itu dan loloslah Sidarta dari ancaman pidana.

"Keterlambatan pencabutan pengaduan saksi korban, jangan dimaknai secara legalistic positivic, tetapi lebih dimaknai penyelesaian secara damai berkeadilan yang menguntungkan saksi korban dan terdakwa demi terciptanya kebenaran dan keadilan," putus hakim agung Zaharudin, Surya Jaya dan Suhadi dengan suara bulat.

(asp/rvk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads