Bencana tsunami 10 tahun berlalu. Daerah-daerah terdampak jelas sudah berbenah. Tapi ada warga yang masih tinggal di barak. Mengapa dan seperti apa kisah mereka?
Jamil, 60 tahun, sibuk memilih-milih ikan hasil tangkapannya untuk dijual kembali kepada warga beberapa waktu lalu. Baju hitam yang dikenakannya berlumuran lumpur. Wajah Jamil mulai berkerut pertanda ia tak lagi muda. Dengan penuh cekatan, ia memisahkan ikan-ikan tersebut menjadi beberapa tumpuk.
Usai itu, Jamil mulai mencari pembeli. Dengan bermodal sepeda tua, Jamil mulai menyusuri jalanan desa di bawah sengatan mentari. Jamil bukan seorang nelayan, ia memancing ikan diparit belakang barak yang ia tempati. Sejak empat tahun silam, Jamil tinggal di Barak Bakoy yang terletak di Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Rumah bantuan untuk kami sudah dibuat. Tapi untuk bisa menempatinya kami diminta uang dalam jumlah jutaan hingga puluhan juta rupiah," kata Jamil kepada detikcom, Selasa (22/12/2014).
Penghasilan Jamil sebagai pencari ikan tidak cukup untuk membayar biaya agar dapat menempati rumah. Uang hasil jerih payahnya hanya cukup untuk kebutuhan dapur saja. Padahal rumah bantuan yang dibangun di Desa Mireuk Lam Reudep, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar sudah menjadi miliknya. Tapi saat ia melihat rumah tersebut, sudah ada yang menempatinya.
"Kalau diminta uang jutaan rupiah, jangankan pegang, liat saja saya belum pernah uang sebanyak itu," ungkap Jamil dengan mata berkaca-kaca.
Sejak tsunami memporak-porandakan Aceh 26 Desember 2004 silam, Jamil hidup dari satu barak ke barak lain. Dua hari pasca bencana, warga Setui Banda Aceh ini bertahan hidup di tenda pengungsi yang dibangun di kawasan Indrapuri, Aceh Besar selama dua bulan. Setelah di sana, ia kemudian pindah ke barak Raider, di Aceh Besar selama enam tahun.
Kisah serupa dialami Yanti. Rumah bantuan korban tsunami miliknya di Desa Miruek Lam Reudep juga ditempati orang lain. Agar dapat menempati rumah tersebut, pengurus rumah bantuan tsunami meminta uang sebesar Rp 3,5 juta. Yanti tak punya uang sehingga hingga kini ia harus bertahan di Barak Bakoy.
"Itu rumah bantuan untuk kami tapi kenapa diminta uang," kata Yanti.
Saat tsunami menerjang, Yanti tinggal di kawasan Ulee Lheue Banda Aceh atau berjarak sekitar satu kilometer dari bibir pantai. Suami, ibu dan dua adiknya menjadi korban dalam musibah tersebut. Ia selamat karena saat gempa dan tsunami sedang berada di rumah saudaranya di kawasan Keutapang, Banda Aceh. Beberapa tahun pascatsunami, ia menikah lagi dengan seorang lelaki yang juga menjadi korban. Kini ia menetap di barak bersama suami barunya.
"Jadi masih belum cukup bukti kalau saya ini korban tsunami?" kata Yanti dengan mata berkaca-kaca.
Barak Bakoy yang dibangun sejak 24 Februari 2005 ditempati oleh 65 Kepala Keluarga yang berasal dari Banda Aceh, Aceh Besar dan Aceh Jaya. Mereka rata-rata masih tinggal di sana karena rumah bantuan tsunami milik mereka telah ditempati oleh orang lain. Bahkan rumah tersebut ada yang dijual oleh pengurus dengan harga miring berkisar antara Rp 5 juta hingga Rp 7 juta perunit.
"Di sini tinggal korban ada yang belum mendapatkan rumah, dan ada 24 KK yang rumahnya diserobot," kata Koordinator Barak Bakoy, Bukhari.
Bukhari mengisahkan, sebagian warga barak Bakoy pernah menerima kunci rumah bantuan yang dibangun Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias di Desa Labuy, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar. Namun saat mereka hendak menempati rumah tersebut, di dalamnya sudah ada barang-barang milik orang lain.
βRumah itu dijual murah kepada orang lain. ada yang dijual Rp 5 juta hingga Rp 7 juta,β jelasnya.
Beberapa bulan pascatsunami, di Desa Bakoy dibangun 20 barak untuk menampung korbanie beuna (sebutan tsunami dikalangan masyarakat Aceh). Tapi kini di sana hanya tinggal delapan barak sementara yang lainnya sudah dibongkar beberapa tahun lalu. Warga yang tinggal di barak, semua memiliki kartu anggota.
"Barak yang kami tempati ini sudah tidak layak huni lagi. Kayunya sudah lapuk semua," ungkapnya.
Jamil, Yanti maupun Bukhari berharap segera dipindah ke rumah bantuan yang telah dibangun untuk korban tsunami. Mereka telah jenuh hidup di barak hingga 10 tahun usai petaka itu menerjang tanah Rencong.
Itulah sebagian kisah tentang bencana maha dahsyat yang berdampak di Asia hingga Afrika 10 tahun silam tersebut. Di mana Anda saat itu? Ikut menjadi relawan, mengorganisir bantuan, atau menyaksikan melalui layar televisi dan membaca media massa sambil berdoa untuk para korban? Bagikan cerita Anda melalui email redaksi@detik.com disertai nomor telepon.
(try/jor)