"Pada saat krisis, pemerintah menyelamatkan bank-bank yang kolaps, dengan apa yang disebut obligasi. Seharusnya pemilik bank yang berhutang ini tetap kewajibannya dalam bentuk rupiah, sehingga bisa ditagih setiap saat. Tetapi, kemudian ada yang ngelobi pada pemerintah waktu itu, 97-98 akhirnya diganti dengan menyerahkan aset. Aset-aset ini banyak yang kurang bagus, sebagian busuk, sebagian nggak sesuai nilainya, tapi seolah-olah sudah menyerahkan aset yang benar," ujar Rizal di KPK, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (22/12/2014).
Rizal menjelaskan, sewaktu dia menjabat sebagai Menko Perekonomian di era Gus Dur, pemerintah mengeluarkan kebijakan strategis terkait para obligor BLBI. Kebijakan yang diambil adalah meminta personal guarantee note kepada para obligor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, kebijakan itu hanya berlangsung sesaat. Setelah pemerintahan Gus Dur digantikan pemerintahan Megawati, arah kebijakan soal obligor BLBI pun ikut berubah. Pemerintah era Mega berdasarkan pada Inpres No 8/2002 akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan SKL, padahal pemerintah tahu, nilai aset para obligor tak sebanding dengan nilai utang.
"Setelah kami nggak jadi menteri dan pemerintahnya ganti, beberapa tahun, personal guarantee ini dikembalikan lagi. Nah memang ada konglomerat yang memenuhi kewajibannya. Ada yang bolong-bolong, ada yang jumlahnya nggak memadai, semestinya kaya raya. untuk itu kami mengimbau bayarlah kewajibannya pada pemerintah," tegasnya.
Seperti diketahui, akibat penerbitan SKL ini negara akhirnya merugi sebesar Rp 138 triliun. Para obligor nakal menyerahkan aset yang tak bernilai tinggi agar bisa mendapat SKL. Anehnya, pihak pemerintah yang telah tahu nilai aset para obligor tak sebanding dengan nilai hutang tetap menerbitkan SKL.
(kha/ndr)