Trio hakim agung, Zaharuddin Utama-Surya Jaya-Suhadi, menerima maaf Kamini dan loloslah Sidarta (60) dari ancaman 5 tahun penjara. Sidarta terancam bui karena menganiaya Kamini yang enggan diajak berhubungan badan.
"Kita sedang melawan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan memberi edukasi untuk perempuan untuk melapor kekerasan. Ini malah begini putusannya, kemunduran terhadap perlawanan KDRT di tanah air," kata anggota DPR perempuan, Meutya Hafid kepada wartawan, Minggu (21/12/2014).
Permohonan maaf Karmini diajukan dengan mencabut aduan pada pertengahan Januari 2012 atau setengah tahun setelah aduan. Secara normatif pencabutan laporan itu melanggar pasal 75 KUHP yang membolehkan pencabutan maksimal 3 bulan setelah aduan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akibat tidak mau diajak berhubungan badan, Kamini dituduh mempunyai pria idaman lain (PIL). Selain itu, Sidarta juga menendang, memukul dan mencakar Kamini supaya mau bercinta dengannya. Puncak penolakan itu, Kamini lalu ditampar dan berusaha melarikan diri. Sidarta yang ditutupi amarah lalu menarik baju Kamini hingga terlepas dan Kamini hanya memakai BH sambil berlari ke luar rumah dan berteriak-teriak minta tolong.
"Saat ini saja, permasalah KDRT di Indonesia adalah pelaporan yang sangat minim dikarenakan sebagian besar korban KDRT tidak berani melapor ke polisi karena diancam. Apalagi jika kunci dari pembebasan suami yang melakukan penganiayaan adalah 'maaf' dari isteri, Maka isteri akan mengalami tekanan psikis, dari dalam diri, keluarga, sosial, bahkan tidak mustahil intimidasi untuk memaafkan," cetus Ketua International Forum of Parlementarian on Population and Development (IFPPD) Indonesia itu.
Apalagi sebagai Ketua IFPPD yang salah satu konsennya adalah kekerasan terhadap perempuan maka ia sangat menyayangkan putusan MA itu. Karena secara jangka panjang, maraknya kekerasan terhadap perempuan berdampak pada masalah populasi dan pembangunan seperti tingkat kesehatan ibu, baik jiwa dan psikis, yang tentu berpengaruh ke anak dan lain-lainnya.
"Di IFPPD sering kita telaah studi kekerasan terhadap perempuan, dan di hampir semua negara punya kekhasan yang sama yaitu perempuan (isteri) cenderung memaafkan suami jika suami merayu minta maaf," ucap mantan presenter itu.
"Bahkan dalam banyak kasus, walau berulang lebih dari 10 kali, isteri tetap memafkan berkali-kali. Dan dalam sebagian kasus--sampai pada patah tulang, luka lebam--kecenderungan isteri adalah 'memaafkan' karena stigamtisasi di masyarakat bahwa 'isteri yang baik' memaafkan suami," sambung Meutya.
Berbeda dengan Meutya, MA lebih cenderung melihat permasalahan tersebut untuk tuntasnya permasalahan di antara yang berselisih daripada mempertahankan perkara tersebut untuk diadili. Hal ini mempertimbangkan dengan mengupas secara substantif entah tujuan hukum telah tercapai dengan adanya permufakatan kedua belah pihak. Karena secara keseluruhan UU tersebut berkiblat pada negara-negara asing seperti Australia, Jerman, Belgia, Norwegia, Denmark dll. Di mana penyelesaian KDRT termasuk dalam family law dengan mediasi penal.
"Keterlambatan pencabutan pengaduan saksi korban, jangan dimaknai secara legalistic positivic, tetapi lebih dimaknai penyelesaian secara damai berkeadilan yang menguntungkan saksi korban dan terdakwa demi terciptanya kebenaran dan keadilan," putus Zaharudin, Surya Jaya dan Suhadi dengan suara bulat.
(asp/try)