Mahkamah Agung (MA) meloloskan kakek Sidarta (60) dari ancaman 5 tahun penjara atas penganiayaan kepada istrinya, Kamini. Sebab Kamini telah memaafkan Sidarta dan mencabut laporan itu, meski pencabutan laporan telah lewat dari waktu yang ditentukan Pasal 75 KUHP.
"Secara substantif, sementara waktu ini saya dapat memahami tindakan dan alasan para hakim agung menyimpangi Pasal 75 KUHP mengingat tindakan tersebut dilakukan dalam rangka menegakkan keadilan substansial dan perlindungan HAM," kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Minggu (21/12/2014).
Putusan MA itu diketok oleh trio hakim agung, Zaharuddin Utama-Surya Jaya-Suhadi, dengan pertimbangan rumah tangga mereka telah akur kembali. Jika menjebloskan Sidarta ke bui, trio hakim agung itu menilai malah akan merusak tujuan utama dari rumah tangga yaitu kebahagiaan dan keharmonisan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hakim yang sedang mengadili suatu perkara apabila menilai atau ragu-ragu terhadap konstitusionalitas suatu ketentuan dalam UU, maka hakim tersebut dapat mengajukan 'pertanyaan konstitusional' ke MK mengenai konstitusional atau tidaknya UU yang dijadikan dasar dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara," ujar Bayu.
Terhadap pertanyaan hakim mengenai konstitutional tidaknya ketentuan UU kepada MK, maka MK kemudian memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Selanjutnya, jawaban MK digunakan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang sedang ditangani.
Sedikitnya ada 3 keuntungan dengan menciptakan kewenangan 'qonstitutional question' MK. Yaitu pertama, memberikan perlindungan hukum hakim pada pengadilan umum, karena tindakan menyimpangi ketentuan dalam UU yang masih sah berlaku tidak sepatutnya dilaksanakan mengingat prinsip dasar kekuasaan kehakiman adalah menegakkan hukum dan keadilan, hukum yang dimaksud salah satunya adalah UU yang dibentuk oleh lembaga legislatif yang masih sah berlaku.
"Kedua, melalui mekanisme 'qonstituional question' maka hakim (pengadilan umum) tetap dapat menegakkan keadilan subtansial tanpa harus melanggar kewajiban utamannya untuk menegakkan UU," papar Bayu.
Ketiga, 'qonstitutional question' juga memberikan jaminan keadilan bagi para pihak yang sedang diadili oleh pengadilan dari digunakannya ketentuan dalam UU yang sebenarnya secara materiil bertentangan dengan UUD. Mekanisme 'qonstitutional question' dapat diadopsi melalui perubahan UUD 1945 atau melakukan perubahan UU MK.
"Mekanisme 'qonstitutional question' ini sudah diterapkan oleh MK di beberapa negara seperti Jerman, Austria dan Spanyol. Di negara-negara tersebut, selama MK belum menyatakan putusannya, pemeriksaan terhadap kasus yang ditangani oleh pengadilan tersebut dihentikan sambil menunggu putusan MK tentang konstitusionalitas UU yang ditanyakan hakim tersebut," beber pengajar Universitas Jember itu.
Kamini melaporkan Sudarta ke polisi pada Januari 2012 ke polisi karena pemukulan yang ia alami. Enam bulan setelahnya, Kamini mencabut laporan karena suaminya telah tobat dan Kamini memaafkannya. Kehidupan rumah tangga mereka lalu menjadi normal. Meski telah memohon untuk dicabut, tetapi aparat penegak hukum tetap memproses kasus itu. Aparat penegak hukum berpedoman dengan pasal 75 KUHP yang berbunyi:
Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.
Alhasil, Sudarta akhirnya duduk di kursi pesakitan. Pada 2 Agustus 2012 Pengadilan Negeri (PN) Sumber, Cirebon, Jawa Barat menyatakan dakwaan penuntut tidak dapat diterima. Tapi Pengadilan Tinggi (PT) Bandung menganulir dan memerintahkan PN Sumber melanjutkan persidangan tersebut. Di tingkat kasasi, putusan PT Bandung itu dibatalkan.
"Keterlambatan pencabutan pengaduan saksi korban, jangan dimaknai secara legalistic positivic, tetapi lebih dimaknai penyelesaian secara damai berkeadilan yang menguntungkan saksi korban dan terdakwa demi terciptanya kebenaran dan keadilan," putus Zaharudin, Surya Jaya dan Suhadi dengan suara bulat.
(asp/try)