“Di lantai tujuh kantor State Department (Kemlu) diselenggarakan salat Jumat secara rutin. Mereka yang tinggal di area lain juga bisa salat Jumat di gedung Capitol. Dulu waktu saya di Gedung Putih, ada gereja yang basement-nya bisa dipakai buat salat Jumat,” kata Utusan Khusus AS untuk Komunitas Muslim, Shaarik H. Zafar, dalam perbincangan di kantor Kementerian Luar Negeri AS, Washington DC, Amerika Serikat, Kamis (18/12/2014).
Shaarik adalah warga muslim Amerika keturunan Pakistan yang pada bulan Juli 2014 lalu ditunjuk sebagai Utusan Khusus untuk Komunitas Muslim. Dengan jabatan yang unik di bawah Kemlu AS itu, tugas utama Shaarik adalah membangun relasi yang baik dengan komunitas muslim di seluruh dunia dan kerja sama dengan mereka dalam isu-isu yang menyangkut kepentingan bersama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini terbukti dari adanya kebebasan bagi warga muslim untuk menjalankan ibadah di AS. Bahkan kantor pemerintah seperti Gedung Putih dan Kemlu menyediakan tempat bagi pegawai muslim untuk salat Jumat. Selain itu, Islam adalah agama dengan pertumbuhan paling cepat di Amerika.
“Di sini Anda tidak harus meninggalkan agama di rumah ketika Anda bepergian. Dan itu berlaku untuk semua orang, termasuk muslim,” ujarnya.
Tantangan yang dihadapi oleh umat Islam di AS sama dengan warga Amerika pada umumnya, yaitu ekonomi. Mereka ingin memastikan bahwa mereka mendapatkan pekerjaan yang layak dan anak-anak mereka bisa pergi ke sekolah.
“Berita bagusnya adalah, statistik menunjukkan bahwa muslim di Amerika memiliki level pendidikan yang tinggi serta tingkat kepemilikian rumah yang di atas rata-rata nasional,” kata pria yang punya pengalaman panjang di pemerintahan ini.
Untuk meluruskan mispersepsi di kalangan muslim terhadap Amerika, Shaarik mengundang para mahasiswa muslim untuk datang dan belajar di AS. “Jika ada anggapan bahwa Amerika memusuhi Islam, itu tidaklah benar. Datanglah ke sini jika Anda ingin bukti. Kunjungi kami dan belajarlah di sini,” ujarnya.
Dia tidak memungkiri bahwa terkadang umat Islam menerima perlakuan diskriminatif, terutama sejak tragedi 11 September. Namun, diskriminasi tidak hanya dialami umat Islam, melainkan juga oleh umat agama lain.
“Statistik dari FBI menunjukkan bahwa agama yang paling banyak menjadi sasaran hate crime di Amerika adalah Yahudi,” ujar Shaarik.
Dia menegaskan bahwa Pemerintah AS tidak tinggal diam jika terjadi diskriminasi berbasis agama. Sebagai contoh, saat sebuah komunitas melarang pendirian masjid di kawasan mereka, Pemerintah mengajukan gugatan ke pengadilan dan dikabulkan.
“Sekarang masjidnya sudah berdiri. Jadi dalam hal ini pemerintah tidak tinggal diam jika terjadi diskriminasi atas nama agama,” tandasnya.
Lebih jauh, dia menyayangkan adanya pihak-pihak dalam Islam yang menggunakan kekerasan atas nama Islam sehingga memunculkan kesan bahwa Amerika bermusuhan dengan Islam. Menurut Shaarik, jika terjadi perang dalam Islam, kelompok-kelompok radikal lah yang menjadi pemicunya.
“Perlu diingat bahwa kelompok-kelompok ekstrem seperti ISIL dan Al Qaeda lah yang paling banyak membunuh orang Islam. Kalau kita lihat korban-korba mereka kebanyakan orang Islam. Jadi kalau ada perang di dalam Islam, kerlompok-kelompok inilah yang memulainya,” katanya.
Dalam kapasitasnya sebagai Utusan Khusus untuk Komunitas Muslim, bulan Oktober 2014 Shaarik melakukan rangkaian kunjungan ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang dia anggap sebagai prioritas. Dia bertemu dengan para tokoh agama dan berkunjung ke pesantren. Shaarik mengaku terkesan dengan pandangan para tokoh Islam di Indonesia yang mengutuk kekerasan atas nama agama.
“Saya sangat terkesan dengan pandangan para tokoh agama di Indonesia yang mengatakan bahwa ISIL dan Al Qaeda tidak punya tempat di masyarakat Indonesia. Bahkan di pesantren yang saya datangi, ada poster yang mengutuk ISIL. Poster itu saya foto,” ungkapnya dengan antusias.
(vid/vid)