Kasus bermula saat Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngasem, tersebut menerima alokasi BLT untuk 640 KK yang berhak mendapat dana kompensasi kenaikan harga BBM pada 2008. Dana itu cair pada Juni dan September 2008. Lalu Ngatmo mengumpulkan kepala dusun dan ketua RT untuk diberikan arahan, sebab merekalah yang akan membagi-bagikan kupon ke warga.
Dalam arahan itu, Ngatmo terang-terangan meminta bawahannya untuk meminta 'jatah preman' Rp 40 ribu per kupon per KK. Dengan pencairan dua kali, maka tiap KK yang mendapat BLT harus menyetor Rp 80 ribu ke Ngatmo. Sehingga dana BLT yang seharusnya diterima warga miskin sebesar Rp 700 ribu, terpangkas menjadi Rp 620 ribu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun tindakan otoriter si kades ini tidak mulus. Ada dua warga dari RT 11 yang tidak terima hak-haknya diambil yaitu Tarmo dan Yadi. Atas hal ini, Ngatmo lalu menerjukan aparatnya untuk menyatroni rumah Tarmo dan Yadi sehingga Tarmo dan Yadi mau memberikan uang siluman itu.
Perlawanan ini mulai merebak sehingga banyak warga desa yang menolak memberikan upeti liar kepada si kades hingga timbul gejolak masyarakat. Ngatmo akhirnya dilaporkan ke aparat untuk mempertanggungjawabkan perbuatan itu.
Pada 6 Mei 2013, jaksa menuntut Ngatmo selama 4 tahun penjara karena melakukan tindak pidana korupsi. Atas tuntutan itu, Pengadilan Tipikor Surabaya menjatuhkan pidana selama 2 tahun penjara pada 23 Mei 2013. Vonis itu dikorting Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya menjadi 14 bulan penjara. Atas vonis itu, Ngatmo tidak terima dan mengajukan kasasi. Jaksa lalu ikut mengajukan kasasi pula.
"Tidak menerima kasasi jaksa dan terdakwa," putus majelis kasasi sebagaimana dilansir website Mahkamah Agung (MA), Kamis (18/12/2014).
Duduk sebagai ketua majelis Imron Anwari dengan anggota Krisna Harahap dan M Askin. Ketiganya sepakat menilai Ngatmo telah secara sah menggunakan kekuasaannya sebagai kepala desa memotong BLT yang diterima warga.
(asp/nrl)