"Lakukan praperadilan, uji penangkapan mereka (Densus 88) di peradilan, lebuh bagus seperti itu, ada aturannya dan gunakan saja aturan itu," kata Kadiv Humas Polri Irjen Ronny Frangki Sompie, saat dihubungi detikcom, Rabu (17/12/2014).
Ronny mempersilakan Komnas HAM mendampingi pihak keluarga untuk melakukan praperadilan. "Tidak perlu membangun opini negatif, penegak hukum dipengaruhi kultur hukum dan dipengaruhi opini yang dibangun. Soal ini jelas ada aturannya, gunakan saluran itu (praperadilan)," imbuh Ronny.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau disebut tertutup, kita sudah umumkan kok ke publik, ini salah satu bukti penyidik transparan, tidak ada yang disembunyikan," kata Ronny.
Mengenai persoalan Densus tidak memberikan kabar penangkapan kedua teroris kepada keluarga korban, Ronny mengatakan penangkanan kasus terorisme memiliki kekhususan, yaitu pemeriksaan 7x24 jam untuk membantu pengembangan penyelidikan agar tidak 'rembes' ke sel-sel teror lainnya.
"Selama ini yang dilakukan Densus 88 sudah sangat humanis, tujuannya mencegah sebelum terjadi kasus teror," uajr Ronny.
Farid disergap Densus 88 sejak 8 Desember 2014. Sementara Wahyono dicokok keesokan harinya. Siane mempersoalkan tidak adanya surat penangkapan dan pemberitahuan pada pihak keluarga.
Kabagpenum Polri Kombes Agus Rianto merilis bahwa kedua tersangka tersebut diduga jaringan Santoso dan tergabung dalam Mujahiddin Indonesia Timur (MIT).
"Ditangkap diduga terkait dengan jaringan Mujahiddin Indonesia Timur (MIT), diduga terkait sebagai bendahara atau penyuplai logistik kelompok Santoso," kata Agus di Mabes Polri, Jakarta, Senin (15/12/2014).
Selain itu, tersangka juga diduga mengetahui bom Polres Poso. "Karena bom tersebut dirakit di rumah yang bersangkutan," ujar Agus.
"Yang bersangkutan ikut melempar bom pada anggota saat penangkapan salahsatu terduga teroris di Kanyamaya Poso," kata Agus.
(ahy/nal)