Sejak 2009 hingga 2013, sudah 15 situs berupa makam-makam leluhur yang direlokasi ke tempat aman dari dampak genangan Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Ada cerita dramatis sewaktu ahli memindahkan 'ruh' sejumlah makam keramat. Seperti apa proses relokasi itu? Begini kisahnya.
Relokasi situs cagar budaya itu melibatkan Balai Pengelolaan Keperbukalaan Sejarah dan Nilai Tradisi (BPKSNT) Disparbud Jabar dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tim itu disebut Satuan Tugas (Satgas) Penanganan dan Percepatan Relokasi Situs/Cagar Budaya di Jatigede .
Nunun Nurhayati, kala itu sebagai Korlap Satgas Tim, berbagi kisah pengalamanya sewaktu tim melakukan ekskavasi beberapa situs berbentuk makam yang dikeramatkan penduduk. Menurut Nunun, soal situs makam sejarah ini tidak mudah seperti memindahkam makam biasa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum ekskavasi berdasarkan pengetahuan arkeologi, sambung Nunun, pihaknya melakukan serangkaian identifikasi dan observasi secara akurat. Bentuk fisik makam keramat itu dipotret kamera, lalu diukur dan digambar. Tujuannya agar susunan situs ini tidak berubah dan menyelamatkan data sejarah.
"Supaya saat dipindahkan itu punya kelayakan yang sama. Jadi kita tetap mengacu pada bentuk dan posisi tata letaknya sama," ujar Nunun.
Menurut Nunun, dalam proses ekskavasi itu pihaknya melakukan pendekatan ritual masyarakat setempat. Setelah itu, kata Nunun, tim memindahkan bebatuan situs serta menggali tanah makam. "Bagaimana memindahkan 'roh' itu? Usai menggali lebih satu meter, ada tanah (warnanya) berbeda dengan ciri lebih gembur. Lalu tanah itu dibungkus kain kafan. Setalah itu diazankan dan ada upacara tradisi," ucap Nunun.
Nunun menjelaskan, selama ekskavasi sejumlah makam keramat, tim tidak menemukan jasad dan tulang belulang.
Dia menyebutkan, upaya pemindahan makam-makam keramat pernah berjalan tidak mulus. Suatu waktu, 2013 lalu, tim akan memindahkan Situs Marongpong berupa Makam Embah Sutadiangga dan Makam Embah Jayadinigrat. Lokasi makam terletak di Kampung Marongpong, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang.
"Masyarakat nggak mau ikut. Alasannya mereka menyebut situs itu keramat. Kegiatan yang kita lakukan itu dianggap tidak menghargai kekeramatan makam. Tiba-tiba kita dikejar orang yang membawa bedog (golok). Akhirnya ekskavasi enggak jadi," tutur Nunun.
Sementara itu Abas Wibawa, kuncen Situs Kapunduhan, juga bertutur, dia terjun langsung saat proses ekskavasi. Situs Kapunduhan berupa makam Embah Ratu Wulung berlokasi di Kampung Cipeundeuy, Desa Sukaratu, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang.
Pemindahan makam leluhur tersebut berlangsung 2013. Abas menceritakan proses penggalian makam berlangsung siang hari. "Enam warga menggali tanah makam, disaksikan tim. Setelah penggalian dengan kedalaman 1,3 meter, tidak ada tulang belulang. Cuma ditemukan tanah yang warnanya berbeda, warna hitam. Saya turun ke dalam makam, lalu mangambil lima kepalan tanah dan dibungkus kain kafan seukuran tubuh bayi," kata Abas saat ditemui di tempat baru Situs Kapunduhan yang masih di daerah Kampung Cipeundeuy.
Selanjutnya, kain kafan berisi lima kepalan batu itu direlokasi ke tempat aman atau daerah tidak terkena dampak genangan air Waduk Jatigede. Abas mengaku, sebelum proses penggalian makam, dirinya berpuasa selama dua hari. Tujuannya untuk keselamatan dan kegiatan bisa lancar.
"Awalnya saya waswas. Sempat berpikir ada petaka kalau makam dipindahkan. Alhamdulillah, ternyata tidak ada petaka. Maksud makam dipindahkan itu 'kan tujuan bukan merusak, tapi tetap melsetarikan nilai sejarah," tutur Abas.
Relokasi berlangsung tanpa hambatan, warga sekitar langsung melakukan upacara atau hajatan sebagai tanda syukur. "Sampai sekarang (setelah direlokasi) tidak terjadi apa-apa," kata Abas.
(bbn/ndr)