Surat yang bernomor 2777/HP.00.00/12/2014 tersebut disampaikan pada Kamis (11/12) dengan isi permintaan Presdien Jokowi mempertimbangkan kembali kedua anggota pansel dimaksud dalam keanggotaan panitia seleksi tersebut.
"Ini sangat memperihatinkan. MK sebagai penjaga konstitusi yang seharusnya memahami UUD 1945 malah melanggar UUD 1945," kata ahli hukum tata negara, Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Senin (15/12/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jelas-jelas tidak ada kewenangan MK untuk mengajukan keberatan atas pansel maupun nantiknya hakim konstitusi yang ditetapkan Presiden,"
Seharusnya, jika keberatan maka menggunakan saliran yang ada sesuai perundangan yaitu mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan permintaan membatalkan Keppres Pansel. Bukan sebaliknya yaitu menggunakan kewenangan MK dengan mengirim surat. Ke depan, menurut Bayu, hal ini bisa meruntuhkan wibawa MK.
"Surat penolakan MK yang ditandatangani oleh Ketua MK juga menunjukan bentuk politisasi lembaga pengadilan yang independen dan bebas kepentingan politik, mengingat Hamdan Zoelva menyatakan berminat maju periode ke-2 sebagai hakim konstitusi sehingga saat ini sangat kental dengan kepentingan politik Ketua MK (Hamdan Zoelva)," ujar pengajar Universitas Jember itu.
Atas dasar itu, para hakim MK telang melangar UUD 1945, UU MK serta kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi. Pasal 27B huruf a UU MK menyebutkan hakim konstitusi wajib menaati peraturan perundang-undangan dan menaati kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi. Intervensi MK ini juga bentuk pelanggaran terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim MK khususnya prinsip integritas yaitu tindak tanduk dan perilaku hakim konstitusi harus memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap citra dan wibawa MK.
"Selain itu surat keberatan MK juga melanggar prinsip kecakapan dan keseksamaan yaitu sikap hakim konstitusi harus menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian dan ketekunan," pungkas Bayu.
(asp/fjr)