“Belum pernah kita mengalami suatu periode masyarakat yang sangat opinionated, yang punya pendapat terhadap suatu hal. Misalnya subsidi BBM. Ada pendukung BBM yang mati-matian mendukung Jokowi waktu kampanye, begitu soal subsidi BBM dia tidak senang sama Jokowi. Tapi dia senang waktu Jokowi menenggalamkan kapal,” kata pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Phillips J. Vermonte.
Hal itu disampaikan Phillpis dalam diskusi bertajuk “Wajah Politik Indonesia Era Jokowi” yang digelar di Washington DC, Amerika Serikat, Kamis (11/12/2014). Diskusi tersebut diselenggarakan oleh
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan meningkatknya rasionalitas pemilih dalam melihat setiap isu, kata Phillips, maka sikap mereka terhadap kebijakan pemerintah pun tidak lagi tunggal. Mereka lebih melihat secara mikro untuk setiap kebijakan.
“Masyarakat sekarang mulai melihat isu per isu. Mereka tidak men-define pemerintahan dengan hanya satu isu. One policy does not define the government. Ini melatih masyarakat untuk menjalankan politik yang lebih rasional,” ujar doktor lulusan Northern Illinois University, AS, ini.
Dalam jangka panjang, kata Phillips, fenomena semacam itu bagus untuk perkembangan demokrasi
Indonesia. Partai politik yang menempatkan dirinya sebagai oposisi terhadap suatu kebijakan
pemerintah akan dipaksa untuk menawarkan kebijakan alternatif.
“Kalau dulu kan oposisi bisa ngawur aja, pokoknya tidak setuju. Sekarang mereka harus mempunyai pendapat alternatif terhadap kebijakan yang diambil oleh Jokowi,” tutur Phillips.
Dampak lain adalah sulitnya terjadi koalisi permanen di parlemen. Phillips memprediksi bahwa koalisi akan bersifat sementara dan berdasarkan isu.
“Sekarang saja sudah mulai kelihatan. Misalnya soal UU Pilkada, Koalisi Merah Putih ternyata nggak terlalu solid juga. Nanti untuk isu yang lain koalisinya akan lain lagi,” kata Phillips.
Sementara Rizal Sukma menyampaikan bahwa di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, birokrasi dituntut untuk menyesuaikan diri dengan budaya yang baru. Dia mencontohkan, pada saat Presiden berangkat ke luar negeri beberapa waktu lalu, rombongan dipangkas dari yang biasanya lebih dari 100 orang menjadi hanya sekitar 30 orang.
“Jadi menteri-menteri nggak bawa staf. Mereka harus mencatat sendiri, membuat laporan sendiri, mengetik sendiri. Ternyata bisa juga tuh,” kata Rizal.
Perubahan lain adalah adanya orientasi yang kuat terhadap hasil konkret dari setiap proses yang dijalankan oleh birokrasi. Misalnya dalam hal politik luar negeri, Jokowi berangkat dari apa kepentingan Indonesia dan bagaimana memenuhi kebutuhan itu dalam konteks politik internasional yang lebih luas.
“Kita biasanya bicara yang besar-besar dulu, baru bicara hal yang konkret, tapi waktunya keburu habis. Kalau Pak Jokowi berbeda, dia langsung berorientasi pada hasil yang konkret,” kata Rizal.
(fjr/fjr)