Konflik antara Ical dengan rivalnya, entah sampai kapan usai, pasalnya selepas Munas Partai Golkar 2014 di Bali yang memenangkan Ical terpilih kembali menjadi Ketua Umum Golkar, dilawan oleh rivalnya dengan mengadakan munas tandingan. Bila masing-masing pihak mengakui dirinya sah, maka yang terjadi di Golkar akan sama seperti di PPP, ada dua kepengurusan dan dua-duanya merasa paling benar sesuai dengan AD/ART dan UU terkait.
Dinamika yang demikian kencangnya menerpa Golkar, ini bukan yang pertama. Setiap Munas, ada cabang pohon yang patah, jatuh ke tanah, dan tumbuh menjadi beringin baru namun pohon induknya tetap tegak berdiri, kokoh, ujungnya menjulang ke langit, dan akarnya menjalar ke bumi dalam-dalam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti dalam perilaku politik sejak dulu hingga kini, yang kalah tidak puas dan menyempal membentuk komunitas sendiri, dari sini lahirlah PKPI (Partai Kebangkitan dan Persatuan Indonesia) yang diketua oleh Edi Sudrajat. Ketidakpuasan dari hasil munas dan konflik internal yang selalu terjadi, membuat partai ini melahirkan partai-partai baru, seperti PKPI, Hanura, Gerindra, dan Nasdem. Munculnya PKPI dan Nasdem, dinamika yang terjadi juga sama seperti yang terjadi pada saat ini.
Adu kuat antara Ical dan Surya Paloh dalam Munas Golkar tahun 2009 demikian kencangnya. Sementara Hanura dan Gerindra lahir dari proses yang baik-baik, bukan dari konflik Golkar. Cita-citanya yang tak tersampaikan di Golkar membuat Surya Paloh meninggalkan partai itu dan membidani sendiri partai baru, Nasdem, yang bermula dari ormas Nasional Demokratik.
Dari sejarah yang pernah terjadi, ketidakpuasan dalam munas atau konflik yang mengakibatkan lahirnya partai baru, membuat Golkar sudah biasa mengalami cobaan yang demikian. Lalu bagaimana dampak dari konflik dan atau perpecahan itu bagi perolehan suara? Tidak akan berpengaruh pada kebesaran Partai Golkar.
Kalau kita lihat data Pemilu Legislatif dari tahun 1999 hingga 2014, perolehan suara Partai Golkar tidak pernah keluar dari posisi 2 besar. Selama pemilu berlangsung, posisinya kalau tidak nomor urut satu, ya nomor urut dua. Lihat saja Pada Pemilu 1999, Golkar meraih suara terbanyak kedua setelah PDIP. Raihan suaranya 25,97 persen, kalau dikursikan 120 kursi, sedang PDIP saat itu merah suara 33,12 persen, dikursikan menjadi 153.
Saat Pemilu 2004, Golkar menjadi pemenang dengan raihan suara 23,27 persen, 128 kursi. Sedang suara PDIP jatuh pada raihan suara 19,82 persen, 109 kursi. Dinamika selalu terjadi, naik turun suatu hal yang biasa, buktinya pada Pemilu 2009, tidak hanya suara Golkar yang jatuh, PDIP pun juga demikian. Ini gara-garanya partai yang didirikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Partai Demokrat, menang dengan raihan suara 26,79 persen, 150 kursi.
Demokrat menang sebab Susilo Bambang Yudhoyono saat itu menjadi Presiden, ada pengaruh kuat kepresidenannya dengan membludaknya suara yang memilih Demokrat. Meski kalah dari Partai Demokrat, posisi Golkar pada nomor urut dua, 19,11 persen, 107 kursi. PDIP malah lebih rontok, pada nomer urut tiga, 16,96 persen, 95 kursi.
Dan Pemilu 2014, yang barusan dilakukan, Golkar berhasil mempertahankan diri pada nomor urut dua, raihan suara 16, 30 persen, 91 kursi. Pemenangnya PDIP dengan meraih suara 19,50 persen, 109 kursi. Sedang pemenang ketiga adalah Partai Gerindra, 13 persen, 73 kursi. Menangnya PDIP dan nomor tiganya Gerindra karena adanya Jokowi dan Prabowo sebagai harapan baru. Popularitas dan citra kedua orang itu kuat sehingga menjadi pendulang suara partainya.
Dari data yang ada, meski konflik dan perpecahan terjadi, Golkar tetap kokoh dan kuat dalam menarik suara. Posisinya lebih bagus daripada PDIP. Partai berlambang banteng moncong putih itu pernah terlempar dari posisi dua besar, sedangkan Golkar selalu masuk dua besar. Padahal di PDIP tidak pernah terjadi konflik.
Meski Golkar tidak memiliki Jokowi dan Prabowo namun partainya tetap mampu menarik orang untuk mencoblos. Kalau disebut perolehan suara Golkar menurun, itu tidak hanya terjadi pada Golkar namun juga partai yang lain. Jadi kalau yang satu turun, yang lain juga demikian, pun sebaliknya. Kalau ada yang naik itu karena faktor icon yang popular dan kalau ada partai kelas menengah naik suaranya, suara mereka tetap jauh dengan Golkar.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa:
Pertama, konflik yang terjadi di elit Golkar, lingkupnya hanya sebatas mereka, tidak menjalar dan berpengaruh pada anggota partai yang di bawah, simpatisan, dan massa mengambang. Hal demikian sangat positif sebab tidak akan membuat mereka meninggalkan Golkar dalam soal pilihan ketika pemilu.
Kedua, jaringan Golkar yang sudah dibentuk sejak awal Orde Baru hingga saat ini tetap bergerak dan menjalankan tugas kepartaian meski konflik terjadi di tingkat elit serta di saat mereka tidak memiliki icon yang popular. Di sini menunjukan partai ini bekerja, bekerja, bekerja. Kemapanan partai dalam bekerja selain karena faktor pengalaman yang sudah puluhan tahun juga karena semakin profesional para kader dalam mengelola dan memanage organisasi.
Ketiga, demokratisasi yang dibuka seluas mungkin membuat partai itu milik semua, tidak ada saham tunggal pemiliknya. Di satu sisi itu bagus namun di sisi yang lain rentan munculnya konflik, meski demikian konflik yang terjadi justru semakin membuat para kader militan dan semakin terlatih dalam mengurus partai. Demokratisasi yang dibuka selebar-lebarnya juga membuat partai itu melakukan regenerasi, banyak muka-muka baru di beringin. Setiap munas, biasanya melahirkan ketua umum baru, bandingkan dengan PDIP yang ketua umumnya dari partai itu berdiri hingga saat ini masih saja Megawati, demikian Hanura, pun Gerindra juga demikian.
Dari pengalaman yang demikian, konflik yang terjadi di Golkar pada saat ini kemungkinan besar tidak akan berpengaruh pada suaranya dalam pemilu yang akan datang. Lihat saja dari data hasil Pemilu tahun 1999 hingga 2014. Kalau ada kader Golkar yang membentuk partai sendiri, partai yang dibentuk itu tidak akan bisa melampaui Golkar. Lihat saja PKPI, Hanura, Gerindra, dan Nasdem, mereka adalah partai-partai mantan pengurus Golkar namun keberadaannya jauh dengan suara Golkar.
*) Ardi Winangun, Pengamat Politik. Tinggal di Matraman, Jakarta.
(nwk/nwk)