Lembaga yudikatif telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Pengadilan yang awalnya berada di aula masjid atau pendopo kerajaan, kemudian dilembagakan secara modern oleh penjajah di bawah Raja Belanda. Bagaimana dengan sekarang?
"Bangsa Indonesia, jauh sebelum datangnya Belanda ke Nusantara telah memiliki sistem hukum dan peradilan yang mapan. Data tertua dokumen pengadilan ditemukan dalam bentuk prasasti berupa lempengan logam yaitu Prasasti Guntur bertahunkan 907 Masehi," kata Wakil Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta, Ansyahrul yang disampaikan dalam Seminar 'Desain Status Hakim' di Hotel Atlet Century, Senayan akhir pekan ini.
Usai Belanda masuk, penjajah lalu memodernisasikan lembaga peradilan yaitu membentuk majelis pengadilan College van Scheepenen pada 24 Juni 1620. Pengadilan itu berada di bawah pimpinan seorang Baljuw atau opsir justisi merangkap kepala kepolisian. Seiring zaman, maka dibentuklah pengadilan yang lebih besar yaitu Raad van Justitie yang menjadi pengadilan tingkat pertama dan terakhir bagi para pegawai dan serdadu VOC. Usai VOC bangkrut, dibentuklah peradilan baru yaang diskriminatif bagi pribumi dan nonpribumi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Usai merdeka, hakim mengalami pasang surut. Di bawah Presiden Soekarno, Ketua Mahkamah Agung (MA) ditarik ke dalam kabinet dan berada di bawah presiden. Setelah berganti Orde Baru, pemerintah masih mencampuri urusan yudikatif lewat Departemen Kehakiman. Pasca reformasi, kekuasaan kehakiman diberikan seluruhnya kepada MA lewat amandemen UUD 1945 pasal 24. Namun kekuasaan kehakiman yang merdeka belum sepenuhnya dicapai karena berbagai hal, seperti soal status hakim yaitu apakah PNS atau pejabat negara.
"Apabila hakim dilepaskan dari PNS, bagaimana aparat pengadilan lainnya yang nonhakim? Tentu masih PNS. Berarti lembaga peradilan kembadi di bawah dua atap karena kepegawaiannya mendua," ujar mantan Kepala Badan Pengawas MA tahun 2006-2008 itu.
Selain itu, internal MA juga belum mempunyai satu visi dan misi untuk merumuskan apa yang diinginkan para hakim seharusnya. MA juga belum melakukan sosialisasi secara mendalam dan mendalam di kalangan masyarakat, komunitas hukum, pihak eksekutif dan legislatif.
"Sehingga sulit mendapatkan dukungan dan membangkitkan political will dari pihak eksekutif dan legislatif untuk memikirkan secara serius mengenai status hakim dalam sistem dan stuktur ketatanegaraan kita," tegas Ansyahrul.
Padahal, Ansyahrul mengkhawatirkan Indonesia diambang kehancuran. Jika Indonesia tidak segera membenahi peradilan, Ansyahrul mengkhawatirkan Indonesia akan hancur seperti Uni Soviet. Tapi jika peradilan kuat, maka Indonesia akan seperti Amerika Serikat yang lolos dari kehancuran akibat Perang Saudara.
"Di dalam 5 tahun ini harus ada penguatan yudikatif. Kuncinya yudikatif. Ibarat jasad manusia, eksekutif dan legislatif itu jasad, yudiktif itu roh. Roh ini yang harus dipertahankan," cetus Ansyahrul.
(asp/fdn)