Penolakan terhadap wacana yang disampaikan Wapres Jusuf Kalla soal pemangkasan jam kerja perempuan yang memiliki anak terus diserukan oleh sejumlah kalangan. Seperti yang disampaikan oleh para pekerja perempuan ini, mereka menolak wacana tersebut karena berbagai alasan.
Sri Wahyuni, PNS asal Bogor ini menganggap pemotongan jam kerja bagi pegawai perempuan merupakan sebuah kemunduran emansipasi. Ketika sebagian perempuan meminta kesetaraan hak, namun ternyata ada perbedaan kewajiban yang harus dijalankan.
"Menurut saya tidak perlu ada diskriminasi, biarkan kami berkompetisi. Tolong dimotivasi saja dan diberi kompensasi yang wajar, misal dengan penambahan cuti melahirkan selama 6 bulan agar para ibu bisa memberikan ASI eksklusif," ucap Sri dalam pesan elektronik yang diterima redaksi@detik.com, Kamis (4/12/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya seorang PNS di Jakarta, tinggal di Bogor dan memiliki 2 anak balita. Sehari-hari lebih sering pakai kereta atau bus. Tanpa ada kebijakan pengurangan waktu kerja tersebut, saya sadar diri untuk memprioritaskan keluarga dengan datang siang atau tidak ngantor, meskipun tunjangannya jadi dikurangi. Saya terima saja karena itu memang konsekuensi dari pilihan sebagai ibu bekerja," katanya.
Senada dengan Sri, Martini Soeroso juga tidak setuju dengan pemangkasan jam kerja. Dia menjabarkan sejumlah alasannya dari sisi pekerja dan perusahaan.
Dari sisi pekerja, Martini mengatakan pemangkasan ini akan merugikan pekerja wanita itu sendiri, di mana mereka tidak akan optimal bekerja dan merasa dibatasi. Ada persaan dibedakan secara kemampuan dari segi waktu atau fisik dengan laki-laki padahal secara intelektual Martini yakin perempuan bisa lebih cerdas dari laki-laki.
"Kemungkinan naik karir susah atau mati karir. Efek lebih parah lagi adalah calon pekerja wanita atau pelamar perempuan akan di nomor duakan secara ekonomi maupun secara peluang perempuan sudah diskak mat dengan peraturan ini. Padahal banyak perempuan muda lulusan S1 yang bekerja karena harus menjadi tulang punggung keluarga," ujar Martini.
Menurutnya, wacana ini juga akan membuat pekerja perempuan tidak semangat mengejar karir. Para calon pekerja perempuan juga akhirnya secara terpaksa akan menandatangani bermacam-macam surat kesepakatan yang ujung-ujungnya akan merugikan perempuan.
"Misalnya surat perjanjian tidak akan kawin, tidak akan hamil sesuai tenggang waktu tertentu dengan efek bersedia mengundurkan diri atau dipecat," jelasnya.
Sedangkan dari sisi perusahaan, Martini yakin pengusaha akan lebih memilih mempekerjakan karyawan laki-laki. Selain itu perempuan akan ditempatkan di posisi yang biasa saja, tidak strategis.
"Karena percuma dia tidak bisa memberikan waktunya secara full," katanya.
Martini mengusulkan bairkan saja perempuan bekerja secara maksimal tanpa ada aturan pemangkasan jam kerja. Biar perempuan mengaktualisasikan diri dan jangan dibatasi.
"Saya pribadi sebagai perempuan merasa ketentuan ini tidak menyamankan saya untuk bekerja dan justru menimbulkan celah tuntutan dari suami yang selama ini baik-baik saja dengan jam kerja saya. Menjadi menuntut minta waktu untuk keluarga dan anak-anak. Padahal selama ini sumber biaya keluarga adalah dari suami dan istri," ujarnya.
Fenpy Irawan, ibu tiga anak ini juga kurang setuju dengan usulan tersebut jika dilihat dari sisi profesionalitas. Menurutnya berkurangnya waktu dengan anak adalah sebuah konsekuensi yang harus diterima oleh ibu pekerja.
"Pada saat kita memutuskan untuk tetap bekerja walaupun sudah punya anak, maka konsekuensi berkurangnya waktu pun pasti sudah masuk dalam pertimbangan kita. Jadi akan lebih baik apabila kita mengatur waktu kita agar lebih berkualitas saat bersama anak anak dan bukan hanya dari segi kuantitas saja yang belum tentu berkualitas," kata Fenpy.
(slm/ndr)