Terpilihnya Ical sebagai Ketum Golkar secara aklamasi lewat Munas IX di Bali ini bahkan menjadikan Golkar terpecah-belah. Faksi pro-Ical dan faksi anti-Ical kini malah berhadap-hadapan setelah terjadi saling pecat antar kedua kubu.
"Saya kira Munas ini bermain api dengan proses manuver-manuver yang sifatnya elit. Proses Munas ini menyisakan faksionalisasi yang semakin tajam antara faksi ARB (Ical) dengan faksi penentangnya," kata pengamat politik UGM Arie Dwipayana kepada detikcom, Rabu (3/12/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini akan membuat proses konsolidasi Golkar memakan waktu yang makin panjang," tutur Arie.
Apalagi, Ical dinilai sudah tak menarik lagi bagi para pemilih. Ical, menurut kaca mata Arie, merupakan figur yang gagal 'dijual' ke publik sejak 2009 hingga 2014. Terbukti, dia gagal maju pemilihan calon presiden pada 2014.
"Golkar mengalami krisis figur. ARB (Ical) sudah dijual sejak 2009 hingga gagal pada 2014, tapi malah kembali muncul sebagai Ketua Umum lagi. Daya tarik Golkar akan melemah," kata Arie.
Sebenarnya masih ada jalan sukses untuk Golkar agar sukses di Pemilu 2019 yang bakal dilaksanakan serentak itu. Golkar akan sukses bila bisa memunculkan figur alternatif, yang tentu saja jauh dari citra Ical. Maka Ical harus menemukan sosok alternatif yang laku jual sebagaimana Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri menemukan sosok Joko Widodo. Berat memang.
"Harus dicari figur alternatif yang punya diferensiasi dan gagasan, seperti Megawati menemukan Jokowi," tandas Arie.
(dnu/van)