Mencari Pendamping Ahok
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Refly Harun

Mencari Pendamping Ahok

Selasa, 02 Des 2014 13:43 WIB
Refly Harun
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Episode pro dan kontra pelantikan Ahok sebagai DKI 1 sudah berakhir. Suara sebagian masyarakat dan anggota DPRD DKI yang semula menentang kini terlihat melemah, kendati tetap ada gangguan kecil berupa β€œgubernur tandingan”. Namun, kini yang diributkan adalah siapa pendamping Ahok. Siapa yang mengisi kursi yang ditinggalkan Ahok sebagai DKI 2 alias wakil gubernur.

Dalam rezim regulasi sebelumnya, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, jabatan lowong tersebut menjadi jatah parpol pengusung, dalam hal ini PDIP dan Gerindra. Mekanismenya, gubernur mengusulkan dua nama dari parpol pengusung, lalu kedua nama tersebut bertarung di DPRD untuk mendapatkan suara terbanyak. Tidak heran bila sebelumnya Gerindra pernah menyiapkan figur untuk mengisi jabatan Wakil Gubernur DKI. Nama yang disiapkan antara lain M. Taufik, yang sedari awal banyak bertentangan dengan Ahok. Terlebih ketika Ahok memutuskan untuk hengkang dari Gerindra.

Kini, suara M. Taufik juga melemah. Gantian yang sekarang kencang adalah PDIP. Bahkan, PDIP sudah menyiapkan nama sebagai pendamping Ahok, yaitu Boy Sadikin, putra mantan Gubernur DKI Ali Sadikin. Boy menjadi prioritas pertama karena asli warga DKI dan menjabat sebagai Ketua DPD PDIP DKI. Boy dinilai paling pantas. Terlebih dia ketua tim sukses pasangan Jokowi-Ahok dalam Pemilukada DKI 2012.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nama lain yang juga disiapkan adalah Jarot Saiful Hidayat dan Bambang DH. Yang pertama adalah mantan Walikota Blitar dan yang kedua adalah mantan Walikota Surabaya. Dua-duanya menjabat selama dua periode di daerah masing-masing. Nama lain yang juga dicuatkan adalah Panjaitan, mantan Sekda DKI.

Mana yang Ahok pilih? Hingga tulisan ini dibuat, belum ada kata final dari Ahok. Ahok sendiri pernah menyebut birokrat Sarwo Handayani sebagai calon pendampingnya. Ia pernah juga menyebut Nachrowi Ramli, yang tak lain adalah calon wakil gubernur dari Fauzi Bowo dalam Pemilukada 2012, artinya mantan pesaing Ahok sendiri. Ahok juga pernah menyebut nama Dian Sastro dan Raisa. Keduanya artis. Tentu saja Ahok hanya bercanda.

Prerogatif Ahok

Berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, Ahok sendiri yang memiliki hak untuk mengajukan calon wakil gubernur. Mekanismenya, dalam tenggang waktu paling lama 15 hari setelah dilantik, Ahok harus sudah mengajukan calon wakil gubernur kepada presiden melalui menteri dalam negeri (mendagri). Bila semua persyaratan terpenuhi, tidak ada alasan bagi presiden untuk tidak mengeluarkan keppres pengangkatan wakil gubernur usulan tersebut. Terlebih, Perppu 1/2014 sendiri telah menentukan bahwa dalam jangka waktu 30 hari setelah gubernur dilantik, kursi wakil gubernur sudah harus terisi.
Β 
Pakar hukum tatanegara Yusril Ihza Mahendra menyatakan Ahok banyak diuntungkan dengan berlakunya Perppu 1/2014, yang tidak lain menggantikan UU Nomor 22 Tahun 2014. Keuntungan pertama, Ahok menjadi gubernur menggantikan Jokowi. Keuntungan kedua, Ahok bisa memilih sendiri wakil gubernurnya tanpa (seharusnya) direcoki oleh parpol dan DPRD lagi.

Pasal 203 ayat (1) Perppu menyatakan bahwa wakil gubernur yang diangkat berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 berhak menggantikan gubernur yang berhalangan tetap, termasuk yang mengundurkan diri, hingga masa jabatan yang digantikan berakhir. Artinya Ahok akan menjabat hingga 2017.

Untuk jabatan wakil gubernur, Pasal 203 ayat (2) menyatakan bahwa pengisiannya melalui mekanisme yang telah ditentukan perppu sendiri, yaitu diusulkan gubernur sendiri kepada presiden melalui mendagri, tanpa melibatkan parpol dan DPRD lagi.

Bila kita cermati, soal ketentuan mengenai pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur yang lowong karena ditinggalkan pemangkunya, antara Perppu 1/2014 dan UU 22/2014 tidak jauh berbeda. Sebab, kedua regulasi ini mengatur bahwa hanya kepala daerah yang dipilih, sedangkan wakil kepala daerah dipilih sendiri oleh sang kepala daerah terpilih.

Pemilihan tidak satu paket ini adalah jawaban atas perseteruan yang kerap timbul antara kepala daerah dan wakil kepala daerah, terutama menjelang pemilukada berikutnya. Terlebih bila keduanya berhasrat maju sebagai calon kepala daerah dalam pemilu berikutnya. Itulah sebabnya, regulasi pengganti UU 32/2004 memisahkan pemilihan kedua pejabat tersebut.

Bahkan, dalam konteks gubernur, pelantikan gubernur ditinggikan, menjadi dilantik presiden di ibukota negara, sedangkan pelantikan wakil gubernur dilakukan oleh gubernur sendiri. Sebelumnya kedua pejabat dilantik mendagri atas nama presiden. Itulah sebabnya, secara psikologis wakil gubernur sering merasa sederajat dengan gubernur. Kekeliruan psikologis ini coba ditembus dengan pengaturan β€˜meninggikan’ dan β€˜merendahkan’ pelantikan sebagaimana telah disinggung.

Kendati dalam rezim regulasi baru Ahok sendiri yang punya kuasa untuk menunjuk wakilnya, suara dan keinginan PDIP tentu tidak bisa diabaikan. Untuk sukses di Jakarta, Ahok tidak mungkin sendirian. Harus ada parpol yang menopang, terutama ketika harus berhadapan dengan DPRD DKI. DPRD memang tidak sekuat DPR dalam konteks hubungan dengan eksekutif. Namun, mengabaikan suara atau kekuatan DPRD tidak akan produktif bagi Ahok.

Sebaliknya, Ahok juga tidak bisa dipaksa untuk memilih calon yang dijagokan oleh PDIP begitu saja. Ahok juga harus ditanya dengan calon mana ia merasa nyaman untuk bekerjasama. Boy Sadikin bisa saja calon paling layak dalam perspektif PDIP, banyak berjasa bagi kemenangan Jokowi-Ahok, tetapi bila tidak memiliki chemsitry dengan Ahok jelas akan mengganggu.

Aspirasi Warga
Bagi seorang warga DKI seperti saya, ingin sekali saya melihat pembangunan DKI berhasil di bawah kepemimpinan Ahok, terutama dalam hal mengatasi macet dan banjir. Jakarta kini makin tidak manusiawi. Selain dilanda seabrek soal, Jakarta juga menjadi kota yang menakutkan saat musim penghujan tiba seperti saat ini. Hujan yang kerap disertai dengan angin kencang sering merobohkan pohon-pohon, membuat papan reklame tumbang, yang tidak jarang membawa korban jiwa bagi yang tertimpa pohon atau papan reklame. Akibatnya, banyak warga takut bepergian ketika hujan turun.

Sebagai warga DKI, saya ingin menggugat, haruskan begini terus-menerus kehidupan Jakarta? Tentu saja tidak. Sebagai warga DKI, saya ingin Gubernur Ahok membereskan banyak soal di Jakarta agar ibukota menjadi lebih manusiawi. Mayoritas warga DKI mungkin tak peduli siapa yang akan mendampingi Ahok, apakah berasal dari birokrat atau parpol. Yang terpenting, orang tersebut mau dan cepat bekerja untuk menjadi pelayan rakyat. Bukan menjadi tuan baru dan sekadar penikmat jabatan.

Tahun 2012, warga telah memenangkan Jokowi-Ahok sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI periode 2012-2017. Warga yang telah memilih Jokowi-Ahok tersebut tentu berharap ada perubahan signifikan di Jakarta. Kendati Jokowi sudah naik kelas sebagai presiden, Ahok sang wakil masih ada dan masih dapat menunaikan janji-janji politik. Sebagai presiden, Jokowi pun bisa berperan signifikan untuk mendorong dan menopang kerja Ahok.

Karena itu, siapa pun wakil Ahok nantinya, ia pun terikat dalam janji kampanye Jokowi-Ahok. Sekali lagi, orang tersebut bisa siapa saja. Yang penting mampu bekerja sama dengan Ahok. Pasca-Pemilukada 2012, warga DKI ingin melihat banjir tidak datang lagi di ibukota, demikian pula dengan tumpukan sampah yang sering melancarkan aroma tak sedap, plus kemacetan luar biasa yang sering menjebol kesabaran.

Pak Ahok, carilah wakil gubernur yang benar-benar Anda nilai dapat membantu Anda. Nomor duakan rasa tidak enak terhadap parpol. Kalau bisa berkompromi, berkomproimilah. Kalau tidak, jalan terus. Asal Anda lurus dan menunjukkan keberhasilan, warga DKI akan tetap mendukung Anda.***

Jakarta, 2 Desember 2014

** Refly Harun adalah Warga DKI, Pengamat dan Praktisi Hukum Tatanegara




(nrl/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads