Pemerintah telah memutuskan untuk melakukan moratorium penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) selama lima tahun ke depan. Alasannya adalah untuk efisiensi demi menghemat anggaran belanja negara. Meski dilakukan dengan niat baik, kebijakan tersebut berpotensi salah sasaran dan kontraproduktif.
Terburu-buru
Persoalan paling mendasar adalah kebijakan itu diputuskan sebelum dilakukan kajian menyeluruh. Menteri PAN dan RB Yuddy Chrisnandi menyampaikan rencana penerapan kebijakan itu pada momen serah terima jabatan dengan menteri sebelumnya, atau sesaat setelah dia menerima instruksi dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Setelah instruksi diterima, barulah Kementerian PAN dan RB melakukan kajian atas formasi PNS yang ada sekarang.
Dari situ dapat disimpulkan bahwa kebijakan tersebut diambil secara cepat dan barangkali belum dipertimbangkan secara matang. Alih-alih memutuskan lalu mengkaji, seyogyanya pemerintah mengkaji dulu baru memutuskan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sangat bisa dimengerti jika pemerintah ingin melakukan efisiensi anggaran belanja negara. Upaya tersebut perlu didukung karena uang pembayar pajak harus digunakan sebaik-baiknya secara transparan dan akuntabel. Namun, upaya itu harus dilakukan secara tepat agar tidak hanya terjebak pada efisiensi dengan mengabaikan efektivitas. Padahal, efisiensi dan efektivitas adalah pasangan yang tidak boleh dipisahkan. Dalam kebijakan moratorium PNS, pemerintah terkesan mengedepankan efisiensi tanpa lebih dulu meneliti efektivitasnya.
Sementara efisiensi dimaknai sebagai penggunaan sumber daya secara tepat dalam upaya untuk mencapai suatu tujuan, efektivitas merujuk pada keberhasilan dari upaya tersebut. Secara sederhana, efisien identik dengan hemat, dan efektif identik dengan tercapainya tujuan. Suatu pekerjaan yang dilakukan secara efisien dan efektif meniscayakan penggunaan sumber daya secara hemat dengan capaian hasil yang maksimal. Tanpa efektivitas, efisiensi kehilangan jati diri. Apa gunanya menghemat jika tujuan tidak tercapai?
Dalam konteks ini, moratorium PNS adalah bentuk efisiensi. Namun apakah kebijakan itu sudah mempertimbangkan aspek efektivitas? Apakah dengan penghentian penerimaan PNS, instansi yang ada dapat menjalankan tugas-tugas yang menjadi kewajibannya dengan baik? Kajian semacam itu yang perlu lebih dulu dilakukan sebelum diputuskan untuk melaksanakan moratorium.
Produktivitas Pegawai
Dalam ilmu ekonomi dasar dikenal konsep marginal product of labor (MPL) untuk mengukur tingkat produktivitas pegawai. Idenya sederhana: untuk setiap satu pegawai tambahan, berapa output tambahan yang dihasilkan oleh perusahaan? Itulah MPL. Pada mulanya, semakin banyak jumlah pegawai, semakin tinggi pula jumlah output yang dihasilkan (dan otomatis juga jumlah pendapatan).
Pada situasi di mana tingkat produktivitas pegawai meningkat, perusahaan akan termotivasi untuk menambah jumlah pegawai guna meningkatkan output dan pendapatan. Proses itu terus berlangsung hingga dicapai titik puncak MPL, di mana output tambahan untuk setiap pegawai tambahan berada pada tingkat tertinggi.
Setelah itu, MPL akan menurun. Output tambahan yang dihasilkan oleh pegawai tambahan tidak lagi setinggi sebelumnya (diminishing marginal return). Hal itu bisa terjadi karena berbagai hal. Misalnya, jumlah peralatan produksi atau bahan baku yang tersedia tidak lagi memadai untuk seluruh pegawai yang jumlahnya terus meningkat. Bisa juga karena banyaknya rekan kerja membuat pegawai kurang fokus melakukan pekerjaan sehingga menurunkan tingkat produktivitasnya.
Lama kelamaan, jika penambahan pegawai tetap dilakukan, besaran output tambahan untuk setiap pegawai tambahan bisa minus (negative marginal return). Hal ini lantaran biaya tambahan yang dikeluarkan untuk menggaji setiap pegawai tambahan melebihi keuntungan tambahan yang diperoleh. Pada titik ini, jika penambahan jumlah pegawai masih saja dilakukan, maka perusahaan harus siap-siap bangkrut dan gulung tikar.
Meski diperuntukkan bagi perusahaan, namun konsep tersebut dapat pula diterapkan untuk pemerintah. Hanya saja, tolok ukur untuk menilai produktivitas pegawai di perusahaan dan di pemerintahan berbeda. Di perusahaan, tolok ukurnya jelas, yaitu seberapa besar pendapatan yang dihasilkan pegawai untuk perusahaan dibandingkan besaran gaji mereka (tentunya setelah memperhitungkan biaya-biaya produksi yang lain). Jika gaji pegawai melampaui pendapatan perusahaan, jelas itu tidak efisien sehingga perlu dilakukan efisiensi (eufimisme yang sering dipakai untuk kata βpemecatanβ).
Dalam instansi pemerintah yang bukan merupakan lembaga profit, tolok ukur produktivitas tidak sesederhana itu. Pegawai pemerintah tidak menghasilkan output yang bisa dinilai dengan harga. Karenanya, membandingkan besaran gaji pegawai pemerintah dengan output tidak bisa dilakukan. Meski demikian, produktivitas pegawai pemerintah tetap bisa diukur dengan cara memadankan eifisiensi dengan efektivitas pekerjaan yang mereka lakukan.
Misalnya, apakah dengan jumlah pegawai yang ada sekarang, tugas instansi dapat dilaksanakan secara tepat waktu dengan hasil yang memuaskan?
Apakah pegawai dapat menyelesaikan tugas dan kewajibannya dengan baik tanpa harus sering lembur? Jika sering lembur, berarti jumlah pegawai masih kurang dan perlu ditambah.
Atau, bisa juga lembur disebabkan terlalu banyak pekerjaan yang sebenarnya tidak perlu dikerjakan, sehingga solusinya adalah menerapkan skala prioritas.
Atau, bisa jadi pegawai kurang cekatan dalam menyelesaikan pekerjaannya sehingga perlu mendapatkan training tambahan.
Sebaliknya, apakah pegawai sering menganggur pada saat jam kerja? Jika iya, berarti jumlah pegawai berlebih. Menggaji pegawai yang rutin menganggur tentunya merupakan pemborosan uang negara, dan dalam hal ini efisiensi mutlak perlu dilakukan.
Menerapkan konsep dasar ekonomi di atas ke dalam instansi pemerintah cukup sederhana. Pada mulanya, suatu instansi pemerintah akan mengalami peningkatan produktivitas pegawai dengan menambah jumlah pegawai yang ada. Hal itu lantaran tugas yang ada dikerjakan oleh semakin banyak orang sehingga selesai lebih cepat dengan hasil yang lebih memuaskan.
Namun, pada suatu titik, penambahan jumlah pegawai tidak lagi diperlukan karena tugas telah terdistribusi secara merata di antara pegawai yang ada, sehingga penambahan jumlah pegawai hanya akan membebani keuangan negara tanpa membawa manfaat buat instansi. Pada titik ini, jika penambahan jumlah pegawai terus dilakukan, negara akan semakin dirugikan karena banyak pegawai yang makan gaji buta.
Pertanyaannya, ada di mana situasi kepegawaian Indonesia saat ini? Apakah MPL-nya masih naik ataukah sudah menurun (diminishing marginal return)? Untuk menjawabnya diperlukan kajian yang menyeluruh. Jika MPL-nya masih naik, moratorium bukanlah kebijakan yang tepat.
Pukul Rata
Dalam menjawab pertanyaan ini, kita akan bersinggungan dengan cacat kedua dari kebijakan moratorium tiba-tiba tersebut, yaitu adanya sifat pukul rata dengan menerapkannya ke semua instansi pemerintah (kecuali guru honorer dan tenaga medis). Padahal, situasi di tiap instansi berbeda-beda. Instansi A barangkali kelebihan pegawai sehingga perlu dikurangi, sementara instansi justru B kekurangan dan perlu tambahan. Bahkan antar-satuan kerja dalam satu instansi pun terdapat perbedaan tingkat efisiensi dan efektivitas pagawai.
Mobilitas Pegawai
Cacat lain yang tak kalah serius adalah kebijakan moratorium ini menyimpan asumsi bahwa pegawai dapat dipindahkan secara gampang lintas-instansi. Padahal urusannya tidak sesederhana itu. Pemindahan lintas instansi bisa diterapkan kepada pegawai yang menangani pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan dan pengetahuan khusus, seperti tugas-tugas administratif umum.
Sedangkan untuk pekerjaan yang memerlukan keterampilan dan pengetahuan tingkat tinggi yang khusus, pemindahan tidak bisa dilakukan seenaknya. Logikanya mirip dengan perusahaan. Pegawai berkeahlian khusus di bidang otomotif tidak bisa serta merta dipindahkan ke perusahaan yang memproduksi perangkat lunak komputer. Jika dipaksakan, bukan saja pegawai tersebut akan kerepotan, sistem produksi secara keseluruhan juga akan terganggu. Dalam hal ini, efisiensi akan mengorbankan efektivitas.
Proporsi PNS-Penduduk
Argumen lain di balik kebijakan moratorium adalah tingginya proporsi jumlah PNS dengan jumlah penduduk di Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain. Pembandingan semacam itu bagus, namun perlu dilakukan secara cermat. Ada banyak aspek yang harus dipertimbangkan dalam pembandingan. Misalnya, bagaimana penggunaan teknologi di negara lain tersebut?
Penerapan teknologi di pemerintahan dapat memangkas jumlah pegawai yang dibutuhkan. Membandingkan Indonesia dengan negara yang pemerintahnya telah menerapkan teknologi yang lebih canggih tentunya kurang tepat karena secara otomatis negara tersebut memerlukan proporsi PNS yang lebih kecil. Seandainya pun pemerintah berencana menerapkan teknologi serupa, efisiensi PNS seharusnya dilakukan setelah teknologi tersebut diterapkan.
Pertanyaan lain yang bisa diajukan adalah, seberapa besar peran negara dalam kehidupan ekonomi dan sosial di negara lain tersebut? Di negara yang peran pemerintahnya besar, pegawai yang dibutuhkan tentunya juga besar. Sebaliknya, semakin minim peran pemerintah (umumnya di negara-negara yang lebih liberal), semakin sedikit pula pegawai pemerintah yang diperlukan.
Uraian di atas tidak dimaksudkan untuk mengabaikan fakta bahwa birokrasi kita masih perlu banyak pembenahan. Justru, momen ini perlu dimanfaatkan untuk mengkaji secara menyeluruh kebijakan kepegawaian di seluruh level, mulai dari pemerintah daerah hingga pemerintah pusat. Dari situ, barulah dapat diputuskan apakah moratorium perlu dilakukan, entah itu secara keseluruhan maupun hanya sebagian yang dirasa perlu. Jika yang dilakukan sebaliknya, yaitu diputuskan dulu baru dikaji, hasilnya bisa berlainan. Kebijakan moratorium yang tergesa-gesa dapat mendatangkan mudarat yang tak disangka-sangka.
Shohib Masykur adalah pegawai negeri sipil di Kementerian Luar Negeri yang sedang menjalani tugas belajar di Georgetown University, Amerika Serikat. Tulisan ini murni pendapat pribadi.
(try/try)