SBY Kultwit Efek Negatif Pencitraan, Menyindir Siapa?

Kicauan Politik SBY

SBY Kultwit Efek Negatif Pencitraan, Menyindir Siapa?

- detikNews
Jumat, 28 Nov 2014 15:46 WIB
Jakarta -

Media sosial kini menjadi salah satu alat dalam komunikasi politik. Politisi, akademisi hingga pejabat negara, menggunakannya. Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono yang memang sudah lama memiliki akun Twitter juga sering menggunakan media sosial populer itu untuk menyampaikan pesan politik.

Hari ini Ketua Umum Partai Demokrat itu memberikan 'Kuliah Twitter' alias Kultwit yang salah satunya membahas efek negatif pencitraan yang berlebihan. "Dalam politik, pencitraan itu biasa. Tapi, jika sangat berlebihan bisa menurunkan kepercayaan rakyat. Angkuh terbawa, tampan tertinggal," kata SBY melalui akun twitter resminya @SBYudhoyono, yang dikutip detikcom Jumat (28/11/2014).

Menurut SBY permasalahan negara terus datang dan pergi sehingga yang diperlukan adalah solusi, bukan pencitraan semata.
"Permasalahan hidup, juga negara, terus datang dan pergi. Yang diperlukan adalah solusi. Dapatkan solusi itu dan kemudian jalankan," kicau SBY.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebaiknya, kata SBY, seorang pemimpin tidak perlu banyak bicara yang tidak perlu. Dia mengibaratkan sebuah tong yang kosong akan selalu nyaring bunyinya ketika dipukul. Akan lebih bijak jika 'tong' yang masih kosong diisi dulu dengan pengetahuan dan pengalaman.

Setelah berkicau tentang efek negatif pencitraan yang berlebihan, SBY berkicau tentang potensi pemimpin menjadi diktator.
"Kekuasaan juga menggoda. Karenanya, gunakanlah secara tepat & bijak. Jangan sewenang-wenang dan jangan melampaui kewenangannya," kata SBY yang menjabat sebagai Presiden periode 2004-2009 dan 2009-2014.

Dia mengutip sebuah nasihat dari nenek moyang bangsa Indonesia yakni, hendaknya kekuasaan tidak digunakan bak: "Besar hendak melanda, panjang hendak melindih".

"Petik pelajaran di dunia. Pemimpin yang selalu dibenarkan apapun perkataan dan tindakannya, tak disadari bisa menjadi diktator atau tiran," kicau SBY berikutnya.

Setiap pemimpin, menurut SBY, pastilah ingin berbuat yang terbaik. Tidak ingin jadi diktator atau tiran dan kemudian harus jatuh, seperti yang kerap terjadi. Seorang pemimpin perlu bersabar dan tak perlu alergi dengan kritik.

Sayang dalam kicauannya itu peraih Bintang Mahaputera Akademi ABRI 1973 itu tak menyebut kepada siapa nasihat dan saran tersebut dia berikan.

(erd/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads