"Pertama, saya merasakan suasana di dalam Partai Golkar tidak kondusif lagi untuk berkhidmat. Saya sadar diri dan merasakan ironi karena meskipun menjadi Ketua DPP tidak mampu berperan banyak dan signifikan untuk memberikan sumbangan bagi terwujudnya demokratisasi dan keterbukaan dalam tubuh Partai Golkar. Rasa bersalah itu mendorong saya untuk mundur dari DPP Golkar," kata Hajriyanto kepada detikcom, Jumat (28/11/2014).
Hajri kemudian buka suara kenapa dirinya meninggalkan Presidium Penyelamat Partai Golkar. Hajri mengaku tak terlibat dalam pembentukan Presidium Penyelamat Partai Golkar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hajri justru mengimbau kepada Ketua Umum DPP Partai Golkar dan Presidium Penyelamat Partai Golkar untuk saling melakukan komunikasi politik dan dialog dari hati ke hati untuk mencapai kompromi dan konsensus politik. Dia meyakini kompromi dan konsensus politik mestinya dapat tercapai.
"Dan itu tidak berat dilakukan, baik oleh kubu Aburizal ataupun Kubu Presidium," kata Hajri.
Pasalnya, hal atau materi yang dipersengketakan dan hendak dikompromikan itu pernah jadi pendirian politik mereka sebelumnya. Misalnya, soal Munas IX dilaksanakan Januari 2015, itu kan dulu pendirian Pak ARB juga berdasarkan rekomendasi Munas VIII 2009.
Sementara mereka yang ada di Presidium pernah juga menuntut munas IX dipercepat yang harus dilaksanakan Oktober 2014, bahkan tuntutannya sebelum pembentukan Kabinet Baru Presiden Jokowi-JK pada sekitar 20 Oktober 2014. Walhasil, mereka yang tergabung dalam Presidium Penyelamat Golkar juga pernah menyuarakan percepatan munas.
"Maka baiknya kompromi saja, cari konsensus. Apalagi soal materi yang satunya lagi yang dipersengketakan adalah cuma soal kepanitiaan Munas IX," pungkasnya.
(van/try)