Partai Golkar itu partai matang. Matang dalam membaca situasi. Matang ada dan tidaknya peluang. Dan matang pula melihat akan dikadali atau tidak dalam tiap momentum yang sedang berlangsung. Ini pasal, kenapa membahas urusan simple begitu bisa diramaikan dengan baku lempar dan baku pukul.
Skenario awal, Ical tidak lagi maju untuk berebut orang nomor satu di partai ini. Ada MS Hidayat yang digadang-gadang Akbar Tandjung untuk menempati posisi itu. Ada Agung Laksono yang berusaha merapat ke Ical untuk posisi itu dan merangkul Jusuf Kalla. Ada Cicip Soetardjo yang disebut Ical akan didapuk untuk menggantinya. Dan ada pula Priyo Budi Santoso yang mencari celah di antara mereka, sama dengan kandidat lain yang bermunculan belakangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bintang (uang) sudah bertaburan, mendadak Ical-Akbar akan maju lagi. Sosok ini sangat kuat. DPD Tingkat satu dikuasai Ical, dan DPD Tingkat dua ladang Akbar Tandjung. Itu pangkal Akbar-Ical sering bertengkar, tetapi jika keduanya maju berpasangan, maka kans kandidat lain ditaksir surut.
Kenapa Ical-Akbar tergelitik untuk maju lagi? Itu karena euforia Kelompok Merah Putih (KMP). Elit partai ini merasa mengantongi kemenangan di balik beberapa kegagalan dalam pemilu kemarin. Mereka merasa senang dan kembali punya harga diri, setelah bertarung habis-habisan ternyata tidak mendapatkan hasil yang sepadan.
Kepentingan para senior ini bertabrakan dengan yang lain. Ada yang menyebut Ical-Akbar tidak memberi kesempatan kader muda. Ada yang bilang kerakusan berkuasa. Dan ada pula yang melempar virus lain, bahwa itu diskenario pihak negator. Tapi apapun itu, secara internal di Partai Golkar memang sedang terjadi masalah besar. Masalah suksesi jabatan Ketua Umum.
Tetapi kenapa waktu dan tempat yang disoal keras dan menyulut pertikaian? Ical dan kelompoknya memang memaksakan untuk Munas bulan Desember di Bali, dan yang lain meminta bulan Januari 2015 di Jakarta. Tapi perbedaan tipis itu justru letak persoalan besarnya.
Di Bali, dijamin Ical menang. Dia juga akan kembali tampil sebagai ketum jika Munas ini digelar di pulau terpencil. Itu karena lokasi bisa disterilkan. Tidak memberi ruang kandidat lain untuk ‘bermain’. Tetapi kalau Munas ini digelar di Jakarta, tidak ada jaminan Bos Bakrie Grup itu leading. Malah kemungkinan besar dia akan kalah. Kok?
Orang Golkar itu, bak pepatah, seperti belut yang dikasih oli. Sangat licin dan sulit dipegang. Di Munas Riau yang memenangkan Ical-Akbar, masing-masing kandidat menabur uang. Dengar-dengar ada yang membayar Rp 200 juta per suara, ada yang Rp 500 juta, ada pula yang Rp 1 miliar per suara.
Sebagai pengaman, para penabur itu mengawal tiap pemilik suara dengan satu orang. Pengawal itu mengawal kemana saja pergi, dan melepaskan kawalannya ketika sudah beranjak ke peraduan. Apa yang terjadi?
Pengawal mungkin sudah tertidur pulas dengan mimpi indah karena akan mendapat fee. Tapi yang dikawal, mereka kembali melakukan negosiasi dengan kandidat lain melalui telepon. Yang saya rasakan, hampir tiap pemilik suara mentransaksikan suaranya untuk semua calon yang mau membayar.
Padahal untuk keberangkatan ke Riau saja, sejak di Jawa sudah dipisah-pisah. Satu calon memberangkatkan pendukungnya dari Jakarta. Dan calon lain melakukan itu melalui Denpasar, Bali. Tetapi di Pekanbaru, mereka yang di luar tampak seperti bermusuhan itu, ternyata akur untuk saling jual-beli suara.
Maka kini, jika rapat pleno kemarin berubah menjadi ajang perkelahian hanya karena meributkan tempat dilangsungkannya Munas, hakekatnya itu bukan soal lokasi, tetapi soal kalah dan menang dalam Munas yang akan digelar.
*Budayawan, tinggal di Jakarta
(asy/nrl)