"Hukum jangan kehilangan daya nalar sosialnya yang berfungsi sebagai penjaga keseimbangan kemanusiaan. Terpidana salah secara yuridis itu benar, tetapi belum tentu salah secara struktur sosial dan legal. Mengapa hal itu sampai terjadi?" kata ahli hukum lingkungan dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr Suparto Wijoyo kepada detikcom, Senin (24/11/2014).
Vonis itu malah membuahkan banyak pertanyaan mengapa hal itu bisa terjadi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Busrin ditangkap anggota polisi dari Polair Polres Probolinggo di hutan mangrove di kampungnya di Desa Pesisir, Kecamatan Sumberasih, pada 16 Juli 2014 lalu. Setelah itu, Busrin digelandang ke markas polisi dan dijebloskan ke sel. PN Probolinggo menjatuhkan hukuman pidana 2 tahun dan denda Rp 2 miliar subsidair 1 bulan kurungan.
"Kasus ini secara positivistik selesai dan memiliki legitimasi yuridis normatif. Pengaturan konservasi memang mengatur sedemikian itu dan aparatur yang menjadi penegak hukum sekadar membaca pasalnya dan itulah hukuman yang diderita," cetus Suparto.
Disparitas keadilan makin terasa saat vonis Busrin dibandingkan dengan perusak lingkungan skala besar. Seperti yang dilakukan oleh PT SI dan PT SPI yang merusak 300 hektare kawasan pesisir di Bangka Belitung dan hanya dihukum denda Rp 32 miliar. Oleh karena itu, Suparto meminta hukum tidak hanya memartabatkan UU tetapi mengabaikan hukum konservasi yang mengajarkan manusia menjadi penyemai lingkungan.
"MA sepantasnya memberikan koreksi atas hal ini. Bimbinglah mereka dalam penegakan yang terukur dalam dunia konservasi dan kemanusiaan secara seimbang," pungkas Suparto.
(asp/nrl)