Otoritas Amerika Serikat membebaskan lima tahanan dari penjara ternama Guantanamo Bay, Kuba. Para tahanan ini diterbangkan ke Eropa untuk kembali melanjutkan kehidupannya di tengah masyarakat.
Kelima tahanan yang dibebaskan ini terdiri atas 4 tahanan asal Yaman dan 1 tahanan asal Tunisia. Disampaikan militer AS dalam pernyataannya, 3 tahanan diterbangkan ke Republik Georgia dan 2 tahanan lainnya ke Slovakia.
Seperti dilansir Reuters, Jumat (21/11/2014), pembebasan kelima tahanan ini semakin mengurangi jumlah tahanan di Guantanamo, yang kini tercatat mencapai 143 tahanan. Ini juga bagian dari upaya pemerintahan Presiden Barack Obama untuk akhirnya menutup penjara ternama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Obama berjanji untuk menutup penjara Guantanamo dalam kampanye presiden tahun 2008 lalu, dengan alasan karena penjara ini semakin memperburuk reputasi AS di mata dunia. Namun sejauh ini, Obama belum juga memproses penutupan tersebut karena mendapat perlawanan dari parlemen AS yang dikuasai Partai Republik.
Center for Constitutional Rights (CCR) yang mewakili salah satu tahanan asal Yaman, Abd Al Hakim Ghalib Ahmad Alhag mengkritisi penolakan pemerintahan Obama untuk membebaskan tahanan asal Yaman lainnya. Disebutkan bahwa sebanyak 54 tahanan dari total 84 tahanan asal Yaman yang masih berada di dalam Guantanamo, telah mendapat izin untuk transfer.
"Kami menyambut baik atas resettlement Alhag, namun kami diingatkan bahwa tahanan Yaman lainnya seharusnya dipulangkan atau di-resettled tanpa penundaan lebih lanjut," ucap pengacara senior dari CCR, Wells Dixon.
Di sisi lain, keputusan pemerintah untuk perlahan dan secara bertahap membebaskan tahanan Guantanamo memicu kritikan dari pihak Partai Republik. Anggota parlemen dari Republik, Buck McKeon yang juga Ketua Komisi Urusan Bersenjata Parlemen menyerukan parlemen untuk menghentikan aktivitas pembebasan.
Alasannya, tahanan-tahanan yang masih tersisa merupakan tahanan terburuk dari yang terburuk dan muncul kekhawatiran, bahwa bekas tahanan Guantanamo yang dibebaskan bisa saja bergabung dengan ISIS yang kini merajalela.
"Melanjutkan pembebasan ini, yang sama saja dengan kita membuka perang baru dengan teror, adalah tindakan tidak bijaksana," ucap McKeon kepada Menteri Pertahanan Chuck Hagel dalam rapat.
(nvc/ita)