Publik tentu bertanya-tanya, ada apa gerangan? Mengapa untuk jabatan yang satu ini, Jokowi yang terkenal cepat – belum genap satu bulan sudah menggebrak dengan tiga kartu sakti dan kenaikan harga BBM – mendadak melambat untuk penunjukan sebuah jabatan bernama Jaksa Agung? Adakah Jokowi mendiamkan saja karena belum menganggap penting untuk cepat-cepat mengisi pos Jaksa Agung? Atau, pertarungan internal dan lingkaran Jokowi begitu dahsyat untuk jabatan ini?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sah-sah saja dilontarkan mengingat begitu strategisnya jabatan Jaksa Agung bagi masa depan penegakan hukum di negeri ini, terutama dari sisi pemberantasan korupsi. Untuk soal pemberantasan korupsi kita memang punya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi pedang KPK tentu tidak bisa diandalkan untuk menebas semua koruptor. Tangan dan jangkauan KPK terbatas. Hanya Kejaksaan Agung yang memiliki banyak tangan dan juga banyak kaki untuk menebar jala pemberantasan korupsi di seantero Nusantara ini.
Sayangnya, selama ini, ‘kelumpuhan’ Kejaksaan Agung dan juga kepolisian dalam gerak pemberantasan korupsi telah menyebabkan KPK dilahirkan. KPK tidak dimaksudkan menjadi lembaga permanen. Hanya sebuah pemantik hingga Kejaksaan Agung dan kepolisian berdaya dan bernyali untuk memberantas korupsi.
Eksternal versus Internal
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat itu, santer terdengar bahwa Prof. Achmad Ali dari Universitas Hasanuddin bakal ditunjuk sebagai Jaksa Agung. Jaksa Agung sendiri saat itu masih menjadi bagian dari kabinet sehingga harusnya diumumkan bersamaan dengan anggota kabinet lainnya. Rupanya Megawati memilih untuk menunda pengumuman karena tarik-menarik yang terjadi di lingkaran dalam. Akhirnya, MA Rachman yang ditunjuk sebagai Jaksa Agung. MA Rachman adalah jaksa karier. Artinya, termasuk Jaksa Agung yang berasal dari internal kejaksaan.
Soal internal dan eksternal ini juga mengemuka ketika SBY menunjuk Jaksa Agung di kabinet pertamanya (2004). Saat itu yang dipilih adalah Abdurahman Saleh, mantan pegiat bantuan hukum yang sebelum menduduki jabatan Jaksa Agung adalah seorang hakim agung. Penunjukan pihak eksternal dimaksudkan untuk mempercepat kinerja Kejaksaan Agung, yang dianggap tidak kuat dan tidak bernyali dalam agenda pemberantasan korupsi. Nyatanya, di tengah jalan, Abdurrahman Saleh diganti dengan pihak internal, yaitu Hendarman Supandji. Hingga berakhirnya masa pemerintahan (2014), Presiden SBY tetap memilih kalangan internal sebagai Jaksa Agung.
Bagaimana dengan Jokowi? Revolusi apa yang hendak ditawarkan Presiden Jokowi dalam penunjukan Jaksa Agung? Sejauh ini, mencuat tiga arus utama soal penunjukan Jaksa Agung. Pertama, seperti biasanya, Jaksa Agung dari kalangan internal. Kedua, Jaksa Agung semata-mata berasal dari eksternal. Dan yang ketiga, Jaksa Agung dari kalangan internal yang pernah berkarya di luar. Untuk model yang ketiga ini, ada yang berkarya di lembaga semacam KPK dan Pusat Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Ada pula jaksa yang sudah pensiun dan kini menjadi anggota parpol.
Saya pribadi cenderung pada pilihan ketiga, yang saya sebut dengan posisi in between. Jaksa Agung baiknya orang yang sudah mengerti betul seluk-beluk kejaksaan sehinga dia memiliki pengetahuan internal yang memadai. Namun, dia juga sebaiknya orang yang pernah berkarya di tempat lain sehingga memiliki horison lebih luas.
Tidak itu saja, dia juga akan memiliki komunikasi yang jauh lebih baik dibandingkan mereka yang sekadar berkarya di dalam. Dalam konteks ini, sosok jaksa yang pernah bekerja di PPATK dan KPK menjadi menarik untuk dijagokan. Bagaimanapun PPATK dan KPK adalah dua lembaga yang dianggap baik di republik ini. Hubungan baik antara kedua lembaga ini dan Kejaksaan Agung sangat dibutuhkan untuk menumpas korupsi yang sudah sangat akut di republik ini. Jaksa Agung yang baru harus menjadi part of solution dalam pemberantasan korupsi, bukan bagian dari masalah baru.
Integritas dan Kepemimpinan
Hari ini, bertempat di Hotel Borobudur, Jakarta, sebuah diskusi dengan tema “Mencari Jaksa Agung yang Ideal” digelar. Saya, Hendardi, dan mantan Ketua MPR Sidharto menjadi pembicara. Saya tidak tahu apa yang akan dibicarakan pembicara-pembicara lain, tapi bila ditanyakan kepada saya, begitulah sikap saya terhadap pencarian Jaksa Agung, yaitu sosok yang in between. Kalaupun harus berkompromi, saya ingin menyatakan, dari luar dan dalam tidak lagi menjadi penting bila kita mampu menemukan sosok yang tidak saja berintegritas, tapi juga memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang baik.
Birokrasi Kejaksaan Agung tidaklah sekecil KPK atau PPATK. Birokrasi kejaksaan terbentang luas dari Sabang sampai Merauke. Seorang Jaksa Agung menjadi atasan dari seluruh kepala kejaksaan negeri (kajari) dan kepala kejaksaan tinggi (kajati) di republik ini. Kita tahu bahwa kajari dan kajati memiliki hubungan baik dengan kepala-kepala daerah di seluruh Nusantara karena menjadi bagian dari forum komunikasi pimpinan daerah (forkompimda).
Begitu luar biasanya kekuasaan Jaksa Agung. Ia hanya bisa disaingi Kapolri yang memiliki rentang kekuasaan serupa. Presiden sekalipun tidak memiliki kekuasaan yang sangat langsung terhadap kepala-kepala daerah. Presiden memang menguasai Jaksa Agung dan Kapolri, tetapi seorang Presiden sekalipun tidak dapat secara langsung mengomando para polisi dan para jaksa di seantero Nusantara. Begitu hebatnya posisi seorang Jaksa Agung dan juga Kapolri. Karena itu, jangan biarkan Jaksa Agung dan Kapolri jatuh ke tangan “pendekar yang berwatak jahat”.
Jakarta, 20 November 2014
*) Refly Harun adalah Pengajar dan Praktisi Hukum Tatanegara
(nwk/nwk)