Melihat Dignity Kitchen, Dapur Khusus Penyandang Disabilitas Bekerja

Laporan dari Singapura

Melihat Dignity Kitchen, Dapur Khusus Penyandang Disabilitas Bekerja

- detikNews
Minggu, 16 Nov 2014 11:38 WIB
Foto: Bilkis/detikcom
Singapura -

Penyandang disabilitas di banyak negara menjadi kaum marjinal dan disepelekan banyak orang, tak terkecuali di Singapura. Berangkat dari keinginan membahagiakan sesama, ‎Koh Seng Choon membuat gerai makanan yang kokinya adalah penyandang disabilitas.

"‎Saya ingin memberi kesempatan pada orang-orang berkebutuhan khusus," kata Kong Seng Choon, pemilik Dignity Kitchen.

Melalui undangan Singapore International Foundation (SIF), detikcom berkesempatan mengunjungi dapur Dignity Kitchen di Serangiin Ave 3, Singapura, Sabtu (15/11/2014). Koh Seng lalu menjelaskan transformasi pedagang kaki lima di Singapura sejak tahun 1940-an yang masih berjualan di pinggir jalan hingga kini mereka dikelompokkan dalam beberapa titik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Usaha makanannya dimulai di tahun 2010 dengan membuka pelatihan untuk para penyandang cacat di Singapura. Seluruh pekerja di tempatnya adalah penyandang disabilitas. Beberapa di antaranya tunanetra, down syndrom, tak memiliki jari yang lengkap atau bisu atau seseorang yang sangat sulit untuk mengingat.
Mereka diajar berbagai keahlian seperti memasak, membuat minuman, memotong sayuran, membersihkan meja dan berbagai keahlian di dapur.

Ia memiliki metode tersendiri dalam melatih setiap karyawannya. Setiap orang hanya diminta untuk mengerjakan 1 pekerjaan. Hal ini karena dengan kebutuhan khusus, mereka membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mengerjakan sesuatu.

"Kami bukan tak pernah gagal. Kami gagal berulang kali," lanjut Koh Seng Choon.

2 Tahun pertama, ia mengatakan setidaknya ia kehilangan S$ 1.000 setiap hari karena terus melatih para karyawannya. Beruntung ia memiliki teman yang bersedia meminjamkan uang agar ia terus menjalankan usahanya.

Ia kembali menjalankan bisnisnya dengan mengajak belasan mentor dari berbagai bidang. Mereka melatih dengan penuh kesabaran para karyawan hingga mahir melakukan pekerjaannya.

"Jika seseorang bisa belajar memotong sayur dalam sehar‎I, karyawan saya membutuhkan waktu sebulan untuk bisa memotong sayur. Kau bisa bayangkan bagaimana sabarnya para mentor kami melatih mereka," terangnya.

Tak hanya membutuhkan mentor yang sabar, ia juga harus membuat‎ peralatan masaknya secara khusus. Ia membuat alat khusus memasak mie yang bisa dioperasikan 1 tangan. Ini dibuat untuk kokinya yang hanya memiliki 1 tangan.

Tantangan terbesarnya yakni me‎nghilangkan persepsi buruk masyarakat tentang kaum disabilitas. Awalnya, ia menggunakan pin dan memperkenalkan kokinya yang berasal dari penyandang cacat.

"Tapi yang ada mereka (konsumen) tak ada yang datang. Saat kami melepas pin-pin itu, mereka berdatangan. Sejak itu saya tidak pernah memakai pin," ucap Koh Seng Choon.

Setelah 4 tahun berjalan, modal sebesar S$ 1 juta baru kembali tahun lalu. Dari 3 gerai awal yang dimilikinya, kini sudah berkembang menjadi 14 unit. Awalnya, tempat makannya diisi oleh kaum tunanetra untuk makan siang namun sekarang, setiap hari puluhan meja terisi penuh di jam makan siang. Tempatnya yang berada di sekitar apartemen menjadi salah satu penyebabnya.

Ia menjamin kebersihan, mutu makanan, bahan baku serta berbagai bumbu makanannya. Hal ini karena di Singapura selalu ada petugas yang datang untuk mengecek mutu makanan dan kualitas tempat makan‎.

Restorannya yang di Seragon terdiri dari 6 kios dengan berbagai makanan. Minumannya dibuat oleh Peter yakni seorang tunarungu. Ia menempel sejumlah bahasa isyarat yang bisa dipelajari orang saat ingin memesan. Jika tidak, di atas meja pemesanan, disediakan berbagai kartu dengan jenis minuman sehingga pengunjung tinggal menuliskan berapa jumlah pesanannya.

Hanya ada 1 gerai yang ditempati master chef dari Dignity Kitchen. Ia menjadi mentor untuk seluruh chef di dapur tersebut. Ruangannya bersih dan terang. Selain itu, sebuah dapur untuk melatih setiap karyawannya berada di ujung ruangan.

Selain itu, ada ruang kerja, ruang pertemuan yang diberi nama 'mother room' dan ruang para pemiliknya dengan nama 'father room'.

"Karena seorang ibu selalu berperan mengajar dan ayah selalu mengayomi," ucapnya saat ditanya mengapa ruangan itu dinamai 'father and mother'.

Puluhan orang dengan keterbatasan telah berhasil ia beri pekerjaan. Setiap orang dibayar S$ 5 setiap jam selama 6 jam. Setiap pulang kerja, mereka akan menerima bayaran. Kerap kali ia mencoba menipu para pekerjanya saat membayar gaji mereka.

"Kami melatih mereka dengan memberi jumlah uang yang salah atau semacamnya. Kemudian mereka kami ajari dan akhirnya mereka belajar dan tahu uang yang harus mereka terima," ujarnya.

Ibu adalah sosok yang paling berjasa dalam perjalanan karier Koh Seng Choon. Sejak awal ia meniti usaha, ibu dan istrinya selalu memberi dukungan untuk meneruskan usaha tersebut. Sampai kemudian sang ibu meninggal tahun lalu.

"Ia meninggalkan warisan S$ 500 ribu dollar untuk meneruskan usaha ini. Ia berpesan agar saya terus mengerjakan pekerjaan ini. Membantu mereka," ucapKoh Seng Choon.

Kini, ia selalu menerima rombongan dari berbagai kalangan dan negara di tempatnya. Sungguh kisah yang inspiratif!

(bil/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads