Namun kini menjadi entrepreneur saja rasanya tidak cukup. Generasi muda mulai mengembangkan dan memperkenalkan social entrepreneur ke masyarakat.
Social entrepreneur tak hanya mengembangkan usaha sendiri dan mendapatkan keuntungan di dalamnya. Lebih dari itu, konsep ini mengajak agar bisnis yang dibangun tak hanya mendatangkan keuntungan namun bisa memberi dampak sosial yang positif pada masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Komunitas ini memberikan wajah lain tentang generasi muda Singapura yang tak sekedar menjadi pekerja kantoran atau bersenang-senang. Kelompok ini peduli pada isu sosial dan pengembangan masyarakat dengan mengajak generasi muda dari berbagai negara untuk bekerja sama termasuk Indonesia
Kami pun bertemu dengan beberapa social entrepreneur yang sedang berkumpul di gedung The Hub, Somerset Rd, Singapura. Rebecca Lim, Direktur Our Better SIF memperkenalkan kelompok The Dorsal Effect. Ia dan sejumlah temannya mengambil wilayah Lombok sebagai sasaran social enterpreneurnya. Mereka mengedukasi masyarakat daerah untuk tak lagi menangkap hiu untuk dijual.
Mereka memberi solusi dan mengajarkan mereka berbagai keahlian agar masyarakat tak lagi mengincar ikan hiu sebagai lumbung uang mereka.
"Generasi muda saat ini harusnya tak hanya sekedar berbisnis tapi harus memberikan arti positif bagi masyarakat dari bisnisnya," kata Rebecca saat berbincang dengan wartawan.
Bermanfaat bagi masyarakat menjadi kunci utama bisnis ini. Karena itu, sebagaian besar bisnis mereka di bidang pertanian dan pendidikan. Namun, ada juga yang konsern pada 'cemilan sehat' seperti Walter Oh.
Walter Oh adalah pendiri usaha 'box green'. Salah satu produk cemilan organik yang terdiri dari berbagai jenis kacang-kacangan. Ide awal berasal dari kegelisahan orang kantoran yang suka ngemil di kantor tapi tak menemukan cemilan sehat. Akhirnya pegawai bank ini membuat 1 box cemilan yang bisa untuk persediaan 1 tahun.
Untuk memasok kacang mete, ia bekerjasama dengan petani dari Ubud, Bali. Dalam waktu tertentu ia akan meminta dikirimkan kacang mete dari Indonesia dan kembali diolah. Kacang-kacang produksinya saat ini mulai dikenal masyarakat luas terlebih saat gerakan hidup sehat dijadikan gaya hidup masyarakat khususnya di Singapura.
Konten kacang-kacangannya dibuat beragam dan berganti setiap bulan sesuai dengan stok yang dimilikinya. Untuk 1 box 'box green' dengan 5 varian kacang-kacangan ia hargai $ Sing 19 . Harga ini dinilainya sangat terjangkau terlebih karena bisa dinikmati selama sebulan.
Selain Walter, detikcom bertemu Paula dari Gone Adventuring. Bisnisnya lebih ada isu lingkungan sehingga kerap diminta beberapa perusahaan besar untuk menjadi konsultan perbaikan mindset karyawan agar peduli pada lingkungan.
"Kami ke Indonesia dengan membawa sejumlah mahasiswa Singapura ke wilayah sekitar Jawa Barat untuk membuat 'The Learning Farm' untuk anak muda yang putus sekolah agar bercocok tanam dan membuat penghasilan besar untuk diri mereka," ujar wanita berparas Latin ini.
Para wartawan juga diperkenalkan pada Allan Lim pendiri Comcrop yang mencoba berkebun di roftop gedung *Scape, Orchard Link, Singapura. *Scape dikenal sebagai tempat berkumpulnya anak muda Singapura untuk berkreasi, menari dan kegiatan kreatif lainnya. Namun, ia keluar dari pola biasa itu dan menyulap rooftop gedung seluas 6000 m2 itu menjadi lahan pertanian.
Ia berkebun dengan sistem aquaponic. Ia melakukannya dengan membuat jalur-jalur pipa yang diberi lobang sebanyak 55 dan diisi sebuah wadah plastik yang sudah diisi dengan tanaman. Dalam rangkaian berbentuk V terbaik itu, setidaknya ada 24 jalur pipa yang dilengkapi dengan pipa-pipa lainnya untuk mengalirkan air.
Sistem pembersihan airnya pun dengan menggunakan ikan-ikan tilapia agar air memiliki kadungan zat-zat yang lebih banyak. Ia memulai usahanya di tahun 2011 di sebuah lahan kosong. Setelah berkembang cukup lama, tahun lalu ia resmi menjadi petani 'rooftop' pertama dan terbesar di Singapura.
"Singapura tak pernah menggantungkan 95 persen pasokan makanannya pada 35 negara dan itu berarti ketergantungan yang sangat besar," ujar Allan.
Ia membangun kebunnya dengan tujuan memberi makanannya sehat untuk seluruh kalangan di Singapura. Dalam 1 tahun, ia sudah memiliki 1000 volunteer dari berbagai pekebun. Generasi muda yang mulai peduli dengan masa depan mereka menurutnya bisa menjadi awal Singapura lebih berkembang dalam hal pertanian.
Ia tak menghitung persis berapa modal atau pengeluarannya untuk usahanya ini. Setidaknya ada $ Sing 1 juta yang dikeluarkannya untuk membangun sistem perkebunannya hingga bagus seperti sekarang. Siap volunteer mendapatkan keuntungan 20 persen dan ia juga menyisihkan 20 persen dari penghasilannya untuk kegiatan amal.
Saat ini, ia menjual sayurannya ke hotel-hotel maupun restoran di Singapura. Orang juga bisa membelinya dengan cara online. Mulai dari tomat, daun basil, daun peppermint, cabai, hingga cabai Meksiko yang melebihi pedis cabai pada umumnya. Ia memang mengkhususkan tanamannya pada sayuran. Namun, di bagian eksperimen field, ada tempat yang ditanami bunga matahari oleh anggota kelompoknya.
Saat ini ia sudah memiliki puluhan anggota kelompok dan kelompok petani sebagai mitra kerjanya. Ia percaya 'urban farmer' yang memanfaatkan ruang di atas gedung di Singapura akan terus bertambah seiring dengan semakin sulitnya menemukan lahan untuk bercocok tanam.
Pada wartawan ia memperlihatkan rencana pembanguna lahan urban farm terbesar di Singapura yang ingin dibuatnya. Jika hal ini terwujud, maka warga Singapura bisa merasakan sayur segar dari kebun yang dibangun di atas gedung yang sangat luas.
"Saya beberapa kali gagal menjalankan ini sampai ibu saya mengatakan saya gila. Tapi sekarang, ini sudah berkembang dan menginfluence banyak orang," pungkasnya.
Sebenarnya, perkebunan dengan sistem serupa sudah ada di Jakarta. Salah satunya yang digagas Presiden Jokowi saat masih menjabat sebagai gubernur. Perkebunan itu ditempatkan di lahan kosong depan rusun Marunda, Jakarta Utara. Saat itu, Jokowi ingin ada agar warga rusun bisa memanfaatkan lahan dan menjual hasil berkebunnya untuk menghidupi kehidupan sehari-hari.
Namun pasca 'naik jabatannya' Jokowi sebagai presiden, tak pernah lagi ada kabar mengenai 'urban farm' ala Jokowi di Marunda. Apakah masih bertahan dan dilanjutkan oleh warga atau justru terbengkalai.
(bil/rvk)