"Ada dua hal yang penting terkait dengan kepentingan nasional Indonesia. Pertama adalah AEC 2015 dan isu konflik Laut Tiongkok Selatan," kata pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana dalam siaran pers, Rabu (12/11/2014).
Persoalan implementasi AEC 2015, menurut Hikmahanto, harus menentukan apakah Indonesia telah siap atau belum. Jika sudah siap, tambah Hikmahanto, harus dipastikan agar rakyat dan pelaku usaha Indonesia tidak dirugikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hal ini mengingat pasar ASEAN bertumpu pada pasar Indonesia karena hampir setengah populasi ASEAN berada di Indonesia. Siapa yang menguasai pasar Indonesia berarti menguasai pasar ASEAN," tambahnya.
Oleh karena itu, Hikmahanto menyatakan, Presiden Jokowi harus menyampaikan kondisi Indonesia sebenarnya. Presiden, bagi Hikmahanto, tidak bisa demi solidaritas tetap mengimplementasikan AEC bila kepentingan Indonesia yang dirugikan.
"Isu kedua yang penting adalah terkait konflik Laut Tiongkok Selatan. Presiden Jokowi harus menyampaikan bahwa Presiden ingin mendapatkan klarifikasi terlebih dahulu dari pemerintah Tiongkok terkait 9 Dashed Line," ujar Hikmahanto.
9 Dashed Line yang dimaksud adalah garis 9 titik di Laut Tiongkok Selatan yang menjadi sengketa. Hikmahanto menambahkan, 9 Dashed Line ini berpotensi tumpang tindih dengan laut Indonesia di daerah Natuna.
"Bila Indonesia dirugikan, maka Indonesia sebaiknya mundur sebagai juru penengah yang jujur dalam konflik Laut Tiongkok Selatan. Selanjutnya Indonesia akan memposisikan memiliki sengketa dengan Tiongkok," papar Hikmahanto.
"Inti dari dua isu ini adalah Presiden Jokowi tanpa tedeng aling-aling harus menyampaikan ketegasan Indonesia dalam implementasi AEC dan peran Indonesia dalam konflik Laut Tiongkok Selatan bila kepentingan nasional dirugikan," tutup Hikmahanto.
(vid/nrl)