Kasus yang menimpanya saat pemerintahan Presiden Soeharto akan membangun irigasi di Bogor pada 1980-an. Tanahnya lalu terkena proyek dan dilakukanlah tukar guling. Tapi siapa nyana, tanah penggantinya malah diserobot.
"Pada Oktober 1994, tanah saya diserbu puluhan truk dan diduduki secara massal dengan alasan atas instruksi Istana," kata Wiman saat berbincang dengan detikcom di kediamannya di daerah Poltangan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (10/11/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak mau menyerah, Wiman mencoba bertahan menduduki kediaman dan tanahnya sendiri. Namun kata sosok yang menguasai 4 bahasa asing itu, dirinya dan keluarganya malah mendapatkan berbagai teror dan ancaman.
"Istri dan anak-anak saya sampai trauma karena hal itu," ucap suami Epon Jamilawati dan ayah dari 6 orang anak itu.
25 tahun lebih sejak itu, Wiman tidak mau menyerah untuk mengambil kembali tanahnya dani menggugat pemerintah sebesar Rp 500 miliar dengan mendaftarkan gugatannya di Pengadilan Negeri (PN) Cibinong, Bogor, Jawa Barat.
Darimana angka gugatan Rp 500 miliar itu? Berikut rincian Wiman:
A. Selama kepemilikan Wiman periode 5 tahun semula atas tanah 1 hektar.
1. Eksploitasi dan konversi hutan dan semak belukar jadi tanah pertanian sebesar Rp 1 miliar.
2. Ratusan kubik batu kali, pasir, rumah bambu, tanaman dan tumbuhan yang hilang dan rusak senilai Rp 1 miliar.
3. Pembuatan empang ikan, rancang bangun rumah dan kolam renang yang gagal karena penyerobotan sebesar Rp 1 miliar.
4. Hasil kebun dan pendayagunaan tanah seluas 1 hektar yang batal dinikmati karena pengrusakan dan teror fisik serta moril sebesar Rp 2 miliar.
B. Pasca penyerobotan, pendudukan, dan penguasaan pihak lain selama 25 tahun lebih.
1. Kehilangan tanah seluas 1 hektar dengan nilai jual taksiran saat ini ditaksir Rp 5 miliar.
2. Kerugian tidak sempat menikmati hasil kebun dan eksploitasi usaha selama 25 tahun (5 x periode pertama) Rp 25 miliar.
3. Kerugian moril dan immaterial Rp 465 miliar.
"Total kerugian saya Rp 500 miliar," ucap Wiman menegaskan.
Wiman adalah sosok yang lantang menyuarakan anti Presiden Soeharto. Ia sering keluar masuk penjara gara-gara menulis buku 'Primadosa', 'Primadusta', dan 'Primaduka'. Buku-bukunya itu sendiri dilarang beredar saat masa kekuasaan Orde Baru. Pada tahun 1992 ia mengeluarkan buku 'Strategi dan Taktik Reformasi Sistem Nasional' (Strataresistenas).
Sosok yang juga evangelis ini divonis murni tidak bersalah pada 1 April 1998 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, setelah menjalani 22 kali sidang. Nota pembelaannya saat itu berjudul 'Jangan Adili Kebenaran Kalau Masih Takut Hukuman Tuhan'.
(bar/asp)