Pagi Dideportasi dari Tawau, Sore Sudah Kembali

Soal TKI Malaysia (5)

Pagi Dideportasi dari Tawau, Sore Sudah Kembali

- detikNews
Kamis, 06 Nov 2014 16:25 WIB
Sebuah rumah di Sebatik. Kamar tamunya di wilayah RI sedangkan dapurnya di wilayah Malaysia (Foto: M Aji Surya)
Nunukan - Setiap bulan terdapat kisaran 500 WNI yang dideportasi dari Negara Bagian Sabah ke Nunukan. Ajaibnya, banyak di antara yang dipulangkan oleh Pemerintah Malaysia itu sore harinya sudah ngopi di Tawau. Mereka menyebut pemulangannya itu hanya sekadar nasib buruk alias apes.

Konsul Indonesia untuk Tawau, Muhammad Soleh, awalnya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat fenomena tersebut. Ia menduga bahwa perbatasan darat dan laut yang sedemikian terbuka telah memberikan peluang bagi masyarakat kedua bangsa saling berkunjung tanpa harus ribet dengan aneka dokumen. Maklumlah, dari Tawau hanya perlu 15 menit naik speed boat hingga sampai di pulau terdepan Indonesia, Sebatik.

Bukan hanya itu, pulau Sebatik juga dibagi menjadi dua bagian. Separuh milik Indonesia dan sisanya milik Malaysia. Uniknya lagi, antara kedua wilayah darat tersebut nyaris tidak ada pagarnya sehingga lalu lalang warga kedua negara adalah sesuatu hal yang jamak. Bahkan, tidak sedikit, rumah penduduk yang ada di dua wilayah: ruang tamu di Indonesia sedangkan dapurnya di Malaysia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terlepas dari itu, ternyata ada keunikan tersendiri dari sisi sejarah. Ditengarai, suku Bugis dengan kapal Phinisi-nya telah sampai di Tawau pada tahun 1812 dan diantara mereka terus bermukim di Negara Bagian Sabah. Mereka lalu beranak pinak dan merasa Sabah bagian dari sejarah hidupnya.

"Jadi, banyak diantara WNI yang kembali ke Tawau itu tidak merasa sebagai pendatang ilegal, tapi seperti pulang ke kampung orang tua atau neneknya saja. Kenyataan itu dipermudah dengan akses yang sedemikian terbuka di perbatasan kedua negara," ujar Soleh.

Menurut seorang warga negara Indonesia yang sudah bermukim disana cukup lama, pelabuhan Batu-Batu merupakan 'terminal' kedatangan terbesar dari WNI. Di sini, tiap pagi hari datang dengan speed boat atau kapal kayu yang mengangkut kisaran 100-200 orang dari Indonesia. Banyak diantaranya tanpa dokumen perjalanan resmi.

Soleh mengatakan, pihaknya terus melakukan kegiatan penyuluhan dan peningkatan kesadaran masyarakat Indonesia yang rata-rata bekerja di kebun-kebun kelapa sawit, tentang pentingnya kepemilikan dokumen dan memenuhi aturan yang diterapkan pemerintah setempat. Melalui radio, selebaran maupun pendekatan langsung, masyarakat Indonesia yang diperkirakan mencapai 200 ribu itu didekati oleh semua staf Konsulat Indonesia.

"Saya mengimbau kepada Pemerintah Pusat Indonesia untuk melakukan pemerataan pembangunan, khususnya bidang ekonomi dan pendidikan di wilayah-wilayah perbatasan. Itu semua bisa menjadi rem bagi kedatangan WNI ke negara jiran tanpa dokumen yang dapat merepotkan banyak pihak," ujar Soleh.

(try/try)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads