"Pasal 2 Ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974 merupakan produk hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. MUI memandang itu karena terbukti sejak UU disahkan jauh sebelum para pemohon lahir. Para pemohon terlalu membesarkan persoalan tanpa referensi yang jelas dan statistik yang jelas," ujar Wakil Sekretaris MUI Luthfi Hakim.
Hal ini disampaikan dalam sidang MK di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (5/11/2014). Luthfi menilai pandangan para pemohon tidak beralasan dan tidak layak dipertimbangkan oleh majelis hakim karena seperti mengajak kembali ke hukum zaman kolonial Belanda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Cara pandang pemohon tampak dangkal dan tumpul. Mereka tidak paham. Bila ditetapkan, maka hak orang ditempatkan di level paling rendah seperti binatang. Kita perlu menghormati rumusan pasal," terang Luthfi.
Ia meminta kepada mejelis hakim untuk menolak seluruhnya permohonan para pemohon dan pasal yang diuji tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal senada juga diungkapkan oleh wakil PBNU Ahmad Ishomaddin. Dia meminta agar MK tidak mengabulkan permohonan tersebut dan dapat memutuskan dengan seadil-adilnya.
"Perkawinan sah apabila dikakukan sesuai dengan agamanya masing-masing. Perkawinan beda agama tidak bisa dilakukan secara Islam dan dicatat di kantor agama," kata Ahmad.
Berbeda dengan keduanya, Komisi Hukum PGI Nixon Lalu menganggap MK perlu mengubah tafsiran Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 karena harus disesuaikan dengan kondisi multikultural bangsa.
"Meskipun besa agama bukan persoalan ideal, perkawinan antar ras juga bukan hal yang mustahil sekarang ini. Oleh karena itu pasal ini harus dibaca berdasarkan multikultural Indonesia. Interpretasi pasal tersebut melahirkan kebijakan diskriminatif untuk menikah beda agama," ujar Nixon.
"Mohon ke depan perlu dibuat regulasi yang lebih realistis. UU ini sangat diskriminatif untuk perempuan, sehingga sudah saatnya duganti," sambungnya.
Atas dua pandangan berbeda itu, Ketua MK Hamdan Zoelva selaku pimpinan majelis hakim akan melanjutkan sidang dengan agenda mendengar keterangan dari Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), perwakilan Konghuchu dan perwakilan Hindu Dharma. Sidang terakhir itu akan digelar pada Senin (11/11) depan pukul 11.00 WI
(aws/asp)