Pemerintah akan membagikan 'kartu sakti' yaitu Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) kepada 15,5 juta rumah tangga yang kurang mampu. Pemegang 'kartu sakti' itu dapat mencairkan sejumlah uang tunai, namun pemerintah melirik kemungkinan bantuan berupa barang menggunakan kartu itu.
"Iya, ada pemikiran seperti itu dengan SIM card sebagai rekening simpanan. Jadi ide kita juga begitu," kata Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Bambang Widianto di kantornya, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2014).
Pemerintah melihat kemungkinan bantuan seperti sembako dan raskin, bahkan pupuk, dapat disalurkan menggunakan data yang tertanam dalam SIM card. Kartu SIM itu berasal dari Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang akan diberikan kepada 15,5 juta keluarga kurang mampu di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini program rumit dan masih baru, tapi kerumitannya itu di kita, pelaksana, bukan pada rakyat. Kalau masing-masing rakyat dapat kartu ini, ya sudah tidak ada kerumitannya. Yang rumit kita karena menggunakan teknologi baru dan ini edukasi jangka panjang," kata Bambang.
"Sekarang, tiba-tiba Bank Mandiri mendapatkan tambahan 1 juta nasabah dan akan terus bertambah. Ini loncatan besar. Kalau tidak dapat kartu, daftarlah ke BPJS, daftarnya mudah banget dan kita ingin yang mendaftar itu sehat," tambahnya.
Bank Mandiri ditunjuk oleh pemerintah sebagai penyimpan dana bantuan kartu sakti tersebut, penyalurnya adalah PT Pos Indonesia dan teknologi yang dimaksud ialah Layanan Keuangan Digital. Penggunaan kartu juga dianggap membuat penyaluran bantuan lebih tepat sasaran.
"Kan bantuan banyak banget, kartunya untuk memastikan dia dapat bantuan. Ini nggak tumpang tindih dengan BPJS. Ini hanya untuk mereka yang kurang mampu," ucap Bambang.
Data penerima kartu sakti ini berasal dari data Badan Pusat Statistik yang diolah kembali oleh TNP2K. Data ini akan di-update pada awal 2015, sehingga program pembagian kartu sakti ini akan terus berlangsung hingga 2016.
"Harusnya 2014 sudah ada (data) yang baru, tapi belum. Lalu ada musyawarah desa yang bisa mencari tahu mana yang di bawah dan yang di atas. Iya, 15,5 juta keluarga itu sampai 2016," tutup Bambang.
(vid/dha)