Tarif Batas Bawah Penerbangan yang Bermasalah
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Catatan Agus Pambagio

Tarif Batas Bawah Penerbangan yang Bermasalah

Senin, 13 Okt 2014 10:20 WIB
Agus Pambagio
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Setelah mengalami pertumbuhan selama kurang lebih 15 tahun, industri penerbangan sipil Indonesia sedang memasuki wilayah turbulensi regulasi yang berdampak buruk bagi perkembangan maskapai penerbangan nasional. Terlebih lagi sekitar 3 bulan ke depan mereka harus menghadapi pasar bebas penerbangan ASEAN (ASEAN Open Sky 2015).

Jika manajemen maskapai kurang cerdik mengelola perusahaan, dapat dipastikan akan banyak maskapai penerbangan nasional akan 'semaput' atau pingsan bahkan bangkrut. Masih jelas di ingatan kita bagaimana dalam 5 tahun belakangan ini kembali beberapa maskapai penerbangan 'game over', seperti Batavia Air, Sky Aviation, Mandala kemudian menyusul Merpati karena tidak sanggup bersaing ditengah ketidakpastian regulasi dan tidak stabilnya nilai Rupiah terhadap Dolar Amerika.

Regulasi di industri penerbangan muncul bak gugusan awan Cummulus Nimbus (CN) yang semakin lama semakin sulit ditembus, termasuk soal denda keterlambatan melalui Peraturan Menteri (PM) Perhubungan No. 77 tahun 2011, Peraturan Pemerintah (PP) No. 1 Tahun 2006 tentang Besaran dan Penggunaan Iuran Badan Usaha Dalam Kegiatan Usaha Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa. dan yang terakhir PM Perhubungan No. 51 Tahun 2014 tentang Tarif Batas Bawah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari berbagai persoalan regulasi diatas, persoalan dampak pengenaan regulasi tarif batas bawah akan saya ulas singkat dalam tulisan ini. Persoalan regualasi ini (mulai berlaku 1 Nopember 2014) akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan penumpang. Dikhawatirkan akan membuat banyak maskapai penerbangan domestik yang pingsan bahkan bangkrut.

Maksud dan Tujuan Pengenaan PM No. 51 Tahun 2014

Melalui PM Perhubungan No. 51 Tahun 2014, DJU, Kemetrian Perhubungan bermaksud menata ulang tarif dengan tujuan supaya industri penerbangan Indonesia dapat bersaing dengan sehat. Apa benar ?

Mengapa harus ditetapkan batas bawah tarif penerbangan? Bukankah tarif yang lebih rendah akan menguntungkan konsumen? Bukankah Maskapai Penerbangan yang menetapkan tarif di bawah ongkos produksinya akan mati sendiri? Bukankah penetapan tarif yang tidak fair dengan tujuan mematikan kompetitornya, akan disemprit oleh Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)?

Pro dan kontra atas rencana tersebut bermunculan. Dapat ditebak bahwa yang pro adalah penerbangan full service dan masyarakat yang khawatir bahwa tarif yang terlampau murah akan membahayakan keselamatan penerbangan. Yang kontra, tentu saja pada umumnya adalah penerbangan no frill yang pada umumnya adalah low cost carrier (LCC).

Beberapa tahun silam ketika maskapai penerbangan Indonesia masih dapat dihitung dengan jari seperti Garuda Indonesia, Merpati Nusantara, Bouraq dan Pelita Air Service, tarif penerbangan memang ditetapkan oleh Pemerintah. Namun semenjak awal tahun 2000-an kala Pemerintah melaksanakan deregulasi di sektor industri penerbangan, tarif ditetapkan oleh kompetisi dan pertumbuhan industri penerbangan Indonesia berkembang dengan amat pesat.

Di sisi lain, dengan tujuan menjaga kepentingan konsumen supaya terhindar dari praktek yang tidak sehat seperti kartel, oligopoli dan sebagainya, Pemerintah menetapkan batas atas tarif penerbangan. Kebijakan tersebut walau merupakan batasan dalam kompetisi bebas, namun masih tetap dapat menjaga pertumbuhan yang tinggi di industri penerbangan dan melindungi konsumen. Ketetapan tarif batas atas ini diatur di dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomer 26 Tahun 2010.

Berdasarkan PM No. 51/2014, tarif batas bawah besarannya adalah 50% dari tarif batas atas. Jika maskapai akan menetapkan tarif di bawah tarif batas bawah, harus seizin DJU (Dirjen Perhubungan Udara-red). Formula tersebut sulit dapat dimengerti. Dengan peningkatan efisiensi sekalipun, maskapai penerbangan akan mengalami kesulitan bahkan hampir tidak mungkin untuk mengurangi komponen biaya di dalam tarif dasar hingga 50%.

Jika hal tersebut dilakukan melalui pemangkasan margin keuntungan (saat ini hanya sekitar 3%) dan pengurangan biaya lainnya melalui efisensi biaya operasi tidak langsung lainnya tetap akan membuat maskapai penerbangan gulung tikar. Mereka tidak dapat mengurangi biaya operasi langsung tetap dan variabel, karena jika itu dilakukan akan mengurangi keselamatan penumpang terkait dengan perawatan pesawat terbang.

Sesuai informasi yang kami kumpulkan dari berbagai sumber, persentase komponen biaya yang harus dikeluarkan oleh maskapai penerbangan antara lain meliputi : (1) biaya perawatan pesawat terbang sekitar 30%-35%, (2) biaya bahan bakar (Avtur) sekitar 30%-40%; (3) Pajak-Pajak (PPN dan PPh sekitar 12%; dan (4) PPnBM sekitar 2%-12,5%.

Di samping itu masih ada pengeluaran lain yang di negara lain justru tidak dikenakan atau dikenakan lebih rendah daripada di Indonesia, seperti: biaya perizinan, biaya sertifikasi, throughput fee ke BPH MIGAS yang sangat memberatkan dan tidak ada kaitannya dengan bisnis penerbangan dsb.

Penetapan tarif batas bawah akan lebih menguntungkan maskapai penerbangan full service. Mengapa? Karena tarif batas bawah akan memperkecil jarak tarif antara full service dengan medium service dan no frill. Perbedaan tarif yang ada saat ini hanya terbatas pada perbedaan wajar atas layanan yang diberikan, bukan karena strategi tarif, efisensi biaya dan sebagainya.

Dengan pembatasan tarif bawah, strategi tarif murah dari medium service dan LCC (walaupun hanya untuk beberapa seats), serta tarif murah pada low season yang meskipun merugi namun dapat dikompensasi dengan keuntungan besar ketika peak season tidak lagi dapat dilakukan.

Di sisi lain sebenarnya maskapai penerbangan full service juga dapat melakukan hal yang sama, namun kurang luwes dibanding LCC maupun medium service karena adanya biaya-biaya pelayanan (seperti: ground handling, katering, service premium, priority dan sebagainya) yang relatif bersifat tetap dan tidak dapat diubah-ubah dengan mudah.

Tarif Batas Bawah Membatasi Persaingan Usaha

Menarik untuk dikaji dari wacana yang dimuat beberapa media elektronik bahwa Direktur Angkutan Udara (Dit Angud)-DJU, menyatakan bahwa: adanya tarif batas bawah hanya untuk mengakomodasi keinginan KPPU (kompas.com, 25 September 2014). Sementara KPPU menyatakan menolak adanya tarif batas bawah tersebut (Jawa Pos, 1 Oktober 2014). Mana yang benar?

Secara logika pernyataan KPPU lebih masuk akal bahwa tidak perlu ada penetapan tarif batas bawah karena hal tersebut menjadikan kompetisi tidak sehat, sebagaimana disebutkan di atas. Pengenaan tarif batas bawah akan membunuh maskapai penerbangan nasional saat diberlakukannya ASEAN Open Sky 2015 kerena maskapai LCC asing tidak akan terkena PM No. 51/2014.

Sehingga mereka masih dapat menjual tiket untuk destinasi 5 bandara Internasional (sesuai kesepakatan pada ASEAN Open Sky 2015) dengan tarif di bawah tarif maskapai LCC Indonesia. Akibatnya tidak saja LCC dan medium service nasional yang akan terkena dampak negatifnya tetapi juga maskapai full service.

*) Agus Pambagio adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads