Menurut dia, pembangunan tanggul laut raksasa sepanjang 32 Km di Pantai Jakarta ini sejatinya merupakan rencana tipe A. Rencana tipe B sendiri adalah pembangunan tanggul laut yang berada di lepas pantai dimana ditengahnya terdapat 17 pulau buatan hasil reklamasi.
"Keseluruhan rencana pembangunan tersebut itulah yang dinamakan sebagai proyek NCICD (National Capital Integrated Coastal Development), yang sebelumnya bernama proyek JCDS (Jakarta Coastal Development/Defence Strategies)," terang Ubaidillah, Kamis (9/10/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selain rob masalah lainya dimaksud seperti fenomena perubahan iklim dan kenaikan muka air laut, abrasi pantai, sampah dan limbah, intrusi air laut, penurunan tanah, hancurnya ekosistem pantai laut, pemukiman kumuh, krisis air bersih, kandungan logam berat yang terdapat pada tangkapan ikan dan budidaya kerang nelayan teradisional, hingga ancaman hilangnya cagar budaya dan situs sejarah," urai dia.
Ubaidillah yang juga Dewan Daerah WALHI Jakarta itu, menambahkan banyaknya persoalan tersebut disebabkan oleh karena tata kelola kawasan pesisir Jakarta mengabaikan daya dukung lingkungan dan peruntukan ruang yang tidak adil, di mana jika diperhatikan faktanya panjang pantai Jakarta sepanjang 32 km yang membentang dari barat ujung Kamal Muara Penjaringan hingga ke timur ujung Cilincing, ruang lahan lebih didominasi oleh pusat industri, pelabuhan, tempat rekreasi komersil dan hunian eksklusif (superblok).
"Jakarta tidak lagi memiliki pantai publik gratis yang pada hakikatnya pantai adalah milik publik dan hanya menyisakan sedikit lahan konservasi hutan mangrove /bakau yang terletak di bagian barat pantai," imbuh dia.
"Hutan mangrove dimaksud ada di dua area, area pertama seluas 25 hektar di muara angke dan area kedua 90 hektar di Pantai Indah Kapuk yang dikelola oleh Suaka Margasatwa BKSDA," tambahnya.
Karenanya menurut Ubaidillah, diperlukan kemauan politik yang kuat dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat, sebagai solusi dalam upaya pemulihan (restorasi) pantai secara keseluruhan dengan proyeksi peruntukan ruang yang proporsional bagi kebutuhan konservasi.
"Kebutuhan konservasi dan restorasi pantai itulah yang akan menstabilkan lahan dari abrasi, meminimalisir penurunan tanah, mencegah semakin jauhnya intrusi air laut, menahan gelombang pasang rob, menetralisir pencemaran dan sebagai muara sumber air baku, tempat tumbuh kembang kehidupan biaota, serta akan melestarikan kehidupan kearifan lokal," urai dia.
Sementara di daratan Jakarta, pemulihan badan-badan air seperti 13 sungai, 48 situ dan 2 kanal, drainase dan saluran mikro, mutlak harus direalisasikan dan dipastikan harus bebas dari limbah, sampah dan sedimentasi berlebih. Sanksi tegas juga mesti diterapkan terhadap masyarakat atau penanggungjawab usaha yang mencemari sungai seperti pencemaran sungai kalimalang pada September 2014 lalu yang notabene berfungsi sebagai sumber air baku untuk minum.
"Garis simpadan sungai, situ, maupun pesisir juga harus dipenuhi, bukan hanya menggusur warga di bantaran sungai tanpa solusi dan diskriminatif, tetapi juga membongkar bangunan permanen megah yang jelas berada di garis simpadan sungai seperti Mangga Dua Squer dan WTC Mangga Dua," tegas dia.
Upaya-upaya pemulihan dan tata kelola sumber daya air lainnya yang juga wajib dipenuhi adalah mengkontrol dan memastikan tanggungjawab pemilik bangunan atau pengembang untuk memenuhi prosentase peruntukan lahan terbuka hijau (RTH) dan memiliki sumur resapan.
"Kemudian di sektor hulu, salah satu agenda pemerintah dalam tanggap darurat penanggulangan bencana di kawasan megapolitan, selain mengacu regulasi yang ada, juga merujuk pada kesepakatan bersama dalam kerjasama antar daerah (Pertemuan Katulampa), yang dihadiri oleh Menteri Lingkungan Hidup RI, Kementerian PU bersama Kepala Daerah Jawa Barat, DKI Jakarta Dan Banten, pada musim penghujan Januari 2014 lalu. Pertemuan Katulampa harus ada tindaklanjut yang konkrit dan jelas sebagai solusi manajemen bencana dihulu dan dihilir," tutup Ubaidillah.
(ndr/mad)