"Mahkamah Konstitusi (MK) yang sudah sedemikian terbukanya saja masih ada sosok seperti Akil Mochtar. Bagaimana dengan MA yang masih seperti ini (tertutup)," ujar pengamat hukum tata negara, Refly Harun, saat dihubungi, Selasa (7/10/2014).
Refly mengatakan di MA masih banyak kebobrokan yang terjadi seperti disparitas putusan dalam suatu kasus dan banyaknya diskriminasi putusan. Bila itu tidak diperbaiki, bukan tidak mungkin mafia pilkada akan menjamur di lembaga tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Refly juga sanksi terkait pasal pasal 158 Perpu Nomor 1 Tahun 2014, yang menyatakan gugatan pemilukada bisa dilakukan dengan selisih suara tertentu. Menurutnya hal itu tidak akan diindahkan oleh peserta pemilukada.
"Di MK sendiri kan juga disebutkan perkara pilkada yang bisa diajukan harus yang perbedaan hasilnya signifikan. Tapi nyatanya tetap banyak yang ajukan gugatan dan majelisnya pun menerima. Apalagi di MA? Saya rasa ini tidak akan diindahkan," papar Refly.
Pria yang pernah membongkar kebobrokan di MK ini menyayangkan Perpu terbitan SBY yang memberikan hak pengadil pemilukada ke MA.
"Harusnya dibentuk badan baru atau diserahkan saja ke Bawaslu dengan catatan Bawaslunya lebih dikuatkan. Para majelisnya juga diisi orang-orang berpengalaman seperti Prof Jimly (mantan Ketua MK), Prof Harjono (mantan Wakil Ketua MK)," kata Refly menyayangkan perpu itu.
Sementara itu, pihak MA belum tahu jika pihaknya kembali didaulat mengadili sengketa pilkada.
"Kalau memang seperti itu nanti akan kita tindak lanjuti. Sampai sekarang belum ada pembicaraan pimpinan MA mengenai pengembalian wewenang dalam perpu tersebut," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur.
(rvk/asp)