Disparitas itu tampak pada kasus Dirut PT Cendrawasih International Sour Recources, Irwan Baramuli. Perusahaan itu bekerja sama dengan oknum PT Pos Indonesia dalam proyek jasa pengiriman batu bara di Hulu Sungai Utara, Kalimantan Barat, pada 2010 lalu.
Dalam jasa pengiriman batu bara itu, Irwan menilep uang Rp 1,6 miliar yang seharusnya masuk kas negara. Alhasil, Irwan pun harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di pengadilan. Pada 14 Maret 2011, Pengadilan Negeri (PN) Amuntai membebaskan Irwan. Lolos di tingkat pertama, Irwan akhirnya dijerat di tingkat kasasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beda Irwan, beda pula Siaruddin. Kasus yang menimpa Siaruddin bermula dari proyek pembangunan GOR Seribu Bukit pada awal 2012 silam. Proyek yang berlokasi di desa Bustanussalam, Blangkejeren, Gayo Lues itu bernilai Rp 4,4 miliar. Dalam proyek itu, Siaruddin masuk sebagai pihak ketiga yang mengerjakan pembangunan GOR tersebut. Belakangan, pembangunan itu terdapat berbagai kekurangan di sana-sini. Padahal anggaran telah dikucurkan semuanya. Akibatnya negara ditaksir merugi Rp 529 juta.
Atas hal itu, Siaruddin pun diadili di Pengadilan Tipikor Aceh.
"Menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara," putus majelis hakim sebagaimana dilansir website MA, Jumat (3/10/2014).
Dalam vonis itu, Siaruddin juga didenda Rp 300 juta subsidair 4 bulan. Lantas berapa hukuman uang pengganti yang dijatuhkan? Siaruddin diminta mengembalikan uang Rp 459 juta dengan syarat apabila tidak mau membayar, maka hartanya disita. Tapi jika hartanya tidak mencukupi, maka diganti dengan penjara 2 tahun.
Dalam vonis yang dijatuhkan pada 3 September 2014 lalu itu, duduk sebagai ketua majelis Muhifuddin dengan anggota Hamidi Djamil dan Zulfan Effendi.
Lantas bagaimana dengan Suharto Noe? Pria asal Gorontalo itu korupsi Rp 16 juta dan harus mengembalikan ke negara. Jika tidak mengembalikan maka diganti selama 3 bulan penjara. Vonis Suharto yang juga dikenai hukuman badan 1 tahun penjara itu telah berkekuatan hukum tetap.
(asp/trq)