"Tidak hanya DKI saja, tapi hampir di beberapa kota besar pun demikian. pengamen kerap kali mendapatkan label buruk dikarenakan ulah segelintir preman yang berkedok musisi jalanan. Akhirnya, musisi jalanan yang benar-benar berkarya ikut terkena imbas dari ulah mereka yang tidak bertanggung jawab," kata Andi Maladewa yang juga pendiri gerakan Institut Musik Jalanan-Depok, dalam surat elektroniknya, Selasa (30/9/2014).
Menurut dia, gerakan institut musik jalanan dibentuk dari keprihatinan, atas fenomena industri musik yang semakin hari semakin mempersempit ruang untuk berkarya. Mereka pun berhimpun dan membangun sebuah pergerakan khususnya dibidang musik bagi para musisi dan seniman jalanan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi para pemudik jalanan ini, sekolah musik, les musik atau rekaman dalam label industri besar mungkin hanya sebatas mimpi semata.
"Bagi kawan-kawan musisi dan pengamen jalanan dengan penghasilan tidak lebih dari Rp. 50.000 hari, hal ini hanyalah omong kosong belaka. Sementara, alih profesi juga bukan hal yang mudah untuk mereka lakukan, jika kita ingin berlaku adil sekiranya kita dapat memahami bahwa talenta bermusik yang mereka miliki adalah anugerah yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, tidak ada satupun manusia yang mampu menolak bakat yang dianugerahkan kepadanya, apalagi jika sebuah aturan dibuat untuk memaksa seseorang berpindah profesi untuk mencari pekerjaan lain yang sama sekali tidak dikuasainya," urai dia.
Menurut Andi, jangankan untuk musisi dan pengamen jalanan, Industri musik pun seakan tidak memberikan sedikit pun ruang bagi perkembangan musik anak-anak di Indonesia, sehingga anak-anak Indonesia hampir kehilangan dunia mereka sendiri. Dunia kanak-kanak, di mana imajinasi mereka sedang tumbuh dan berkembang "ikut dirusak" dengan produksi-produksi lagu dewasa yang bukan untuk dikonsumsi oleh usia mereka.
"Anak-anak pada masa kini hampir tidak mengenali budaya mereka sendiri, bukan tidak mungkin jika kelak mereka akan kehilangan kesenian dan budaya di negerinya sendiri. Industri musik mainstream "menjajah anak-anak" dengan suguhan lagu "cinta menye-menye" yang sejatinya belum pantas untuk mereka konsumsi dalam perkembangan mereka. Begitupun yang terjadi pada adik-adik yang berada dalam binaan kami, sebagian besar adalah pengamen jalanan. Dalam beraktivitas mengamen, mereka kerap menyanyikan lagu-lagu bertema dewasa sementara usia mereka masih sangat kecil untuk menyanyikan lagu-lagu cinta," jelasnya.
"Industri Musik Major larut dalam komersial dan nilai-nilai rupiah tanpa mau berpikir bagaimana membangun moral dan mental yang baik bagi anak-anak. Kami bertekad untuk "melawan" dengan cara-acara yang terhormat," tambahnya.
Andi menjelaskan soal nama Institut Musik Jalanan yang didirikannya. Organisasi itu merupakan wadah dalam menghasilkan karya musik yang tak kalah kualitasnya dengan industri musik modern.
"Kami bermaksud mencetak karya-karya dari para seniman jalanan dalam bentuk CD selayaknya produksi musik major label. Namun, dalam praktek pemasarannya kami menggunakan cara-cara indie yang sangat struggle! Pengamen/seniman jalanan kami arahkan dalam mematangkan karya lagu milik mereka sendiri, mengaransemen karyanya sendiri, belajar memproses lagu dari tahap recording, mixing dan mastering. Karya yang telah dimatangkan kemudian dikemas ke dalam bentuk kepingan CD yang juga diproses di Institut Musik Jalanan," tutup dia.
(ndr/mad)