Isi pasal itu yakni, 'setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama'.
"Bisa tidak saya mengatakan persetujuan bersama belum ada, nanya gitu ke MK. Karena Menteri Dalam Negeri sudah di situ mengatakan pidato pendapat akhir pemerintah, saya bicara 20 ayat 2 ya, orang sekarang di mana-mana bicara 20 ayat 5, beda nih," jelas Denny di Kejagung, Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta, Senin (29/9/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Denny, bila dalam pasal 20 ayat 5, setelah ada persetujuan bersama presiden tidak tanda tangan, setelah 30 hari meskipun beliau tidak tanda tangan jadi undang-undang.
"Kalau 20 ayat 2 karena belum ada persetujuan bersama tidak jadi undang-undang, ini beda nih 2 hal yang berbeda," tegasnya.
"Makanya saya diminta mengkaji. Apakah kemarin itu sudah ada persetujuan bersama. Kalau kebiasaannya sudah, tapi ini kan tidak biasa nih, Presiden bilang saya tidak setuju pilkada tidak langsung, saya inginnya Pilkada langsung dengan perbaikan," tambah Denny.
Denny menuturkan, dirinya mengkaji apa alternatif-alternatif yang tersedia bagi presiden untuk melaksanakan aspirasi ketidaksetujuan itu.
"Ingat ini agak teknis hukum ini, orang selalu bicara 20 ayat 5, saya ulangi supaya nggak salah, itu kalau presiden tidak tanda tangan tetap dalam 30 hari sah berlaku sebagai undang-undang. Yang presiden sedang mau exercise bukan 20 ayat 5. Mungkinkah presiden bertanya pada ketua MK, saya meng-exercise, melakukan ketentuan yang ada pada pasal 20 ayat 2 UUD 45 yaitu rancangan undang-undang harus mendapat persetujuan DPR dan presiden. Presiden mengatakan saya belum setuju lho ini," tutup Denny.
(dha/ndr)