UU Pilkada yang merampas hak rakyat memilih kepala daerah dan diserahkan kepada anggota DPRD menggerus demokrasi. Apalagi, anggota DPRD yang terpilih dan akan duduk di kursi parlemen selama 5 tahun ke depan kualitasnya sangat buruk.
"Anggota DPRD sekarang? Anggota legislatif yang baru terpilih adalah orang yang diantarkan kekuatan uang. Faktor uang sangat berperan. Nggak kenal sama orang (masyarakat), tahu-tahu jadi anggota dewan. Pemilu kemarin benar-benar politik uang yang benar-benar sangat dahsyat. Bagaimana mereka harus memilih Bupati?" kata guru besar hukum tata negara pada bidang otonomi daerah, Prof Dr M Fauzan saat berbincang dengan detikcom, Minggu (28/9/2014).
Bahkan menurut Fauzan, saat kampanye Pileg lalu, amplop sampai habis di toko dan pasaran. Pasca duduk di kursi DPRD, mereka ramai-ramai menggadaikan SK-nya untuk mendapatkan uang segar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut pengajar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah itu, dengan kondisi di atas maka kualitas demokrasi ke depan diprediksi akan semakin surut. Seharusnya, DPR bisa menunjukkan sisi kenegarawanannya daripada berbicara menang kalah semata.
"Kekhawatiran akan kembali masa lalu sangat besar, sangat beralasan," papar Prof Fauzan.
Prof Fauzan tidak menampik pola pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan menjadikan kepala daerah sapi perahan. Hal ini akan diikuti dengan perubahan pola pertanggungjawaban yaitu pertanggungjawaban akan dilakukan kepala daerah ke DPRD.
"Ketika diserahkan ke DPRD, mekanismenya akan berubah. Tidak ada yang gratis dalam politik. Bisa-bisa, belum laporan pertanggungjawaban tapi laporannya sudah ditolak duluan," ucap peraih doktor dari Universitas Padjadjaran (Unpadj) di bawah bimbingan Bagir Manan ini.
Bagi Prof Fauzan, pemilihan langsung atau pemilihan via DPRD masing-masing memiliki kelebihan dan keunggulan masing-masing. Sepanjang anggota DPRD bisa mendengar aspirasi warga, maka pemilihan kepala daerah lewat DPRD bisa menjadi lebih baik. Prof Fauzan malah lebih memilih otonomi di tingkat provinsi dengan menghapuskan DPRD kabupaten/kota dan meniadakan pemilihan bupati sehingga jalannya pemerintahan menjadi sangkil dan mangkus.
"Kalau mau memperbaiki ke depan, pertama, perbaiki suasana kebathinan yang emosional. Jangan dendam terhadap keadaan. Sebaiknya memperbaiki UU Pemda dll jangan terlalu tergesa-gesa. Sayang, kemarin tidak ada pemikiran otonomi di tingkat provinsi," pungkas Prof Fauzan.
(asp/mpr)