Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan Rancangan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah menjadi Undang-undang. Salah satu poin pentingnya adalah pemilihan kepala daerah tak lagi dilakukan secara langsung, melainkan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah alias tak langsung.
Di Washington Amerika Serikat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memantau langsung proses pengesahan RUU Pilkada menjadi UU. SBY yang juga Ketua Umum Partai Demokrat itu mengaku berat untuk menandatangani UU Pilkada yang disahkan oleh DPR itu. UU Pilkada menurut dia juga sulit dieksekusi.
Alasannya UU Pilkada yang baru saja disahkan oleh DPR berkonflik dengan UU lainnya. Salah satunya Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di dalam UU MD3, DPRD baik tingkat Provinsi maupun tingkat kabupaten tidak memiliki hak untuk memilih kepala daerah. Bagian kelima pasal 322 UU MD3 misalnya disebutkan bahwa, anggota DPRD Provinsi hanya memiliki hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat.
Hak Interpelasi adalah hak untuk meminta keterangan kepada gubernur mengenai kebijakan pemerintah provinsi yang penting dan strategis serta berdampak luas bagi kehidupan masyarakat. Hak angket merupakan hak anggota DPRD Provinsi untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah provinsi.
Adapun hak menyatakan pendapat adalah hak untuk menyatakan pendapat atas sebuah kebijakan gubernur atau mengenai kejadian luar biasa.
Anggota DPRD Kabupaten/Kota pun menurut UU MD3 juga tidak memiliki hak untuk memilih kepala daerah. Menurut Pasal 372 UU MD MD3 hak anggota DPRD Kabupetan/Kota adalah; mengajukan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, memilih dan dipilih, membela diri, imunitas, mengikuti orientasi dan pendalaman tugas, protokoler, serta keuangan dan administrasi.
Bila bertentangan dengan UU MD3, bisakah UU Pilkada langsung dilaksanakan?
(erd/try)