Vaandel SBY-Demokrat
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Vaandel SBY-Demokrat

Kamis, 25 Sep 2014 17:53 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Den Haag -

Kalau ada pemerintahan Indonesia era reformasi paling banyak disanjung di luar negeri dalam hal demokrasi dialah pemerintahan SBY-Demokrat (2009-2014). Indonesia bahkan diklaim sebagai role-model bagaimana Islam dan demokrasi bisa sukses berfungsi. Teladan baik untuk Timur Tengah dan negara-negara berkembang lainnya.

Salah satu praktik Islam-demokrasi ala Indonesia yang masyhur dijadikan sebagai contoh best pratice dan referensi dalam konferensi-konferensi dan seminar-seminar internasional, antara lain di lembaga-lembaga think tank tersohor di Eropa, adalah praktik partisipasi politik langsung rakyat sebagai pemegang kedaulatan melalui pemilu, termasuk pilkada, di mana hajatan besar dan pelik tersebut dapat mulus berlangsung dan... tanpa pertumpahan darah!

Tentu, ada catatan-catatan kritis di sana-sini yang perlu dijadikan prioritas untuk penyempurnaan, misalnya masih ada sebagian partisipan yang mempraktikkan politik uang, kelemahan administrasi, dsb. Tetapi semua itu tidak mengurangi pujian atas keberhasilan Indonesia, yang hanya dalam tempo interval satu pemilu (1998-2004) mampu mentransformasikan diri dengan gemilang dari sistem otoriter ke sistem demokratis. Bukankah temuan-temuan kelemahan dapat diperbaiki terus-menerus sambil berjalan?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Maka ibarat membakar vaandelnya sendiri, merobohkan monumennya sendiri, jika Demokrat ikut-ikutan mendukung upaya membalikkan sistem partisipasi langsung rakyat sekarang ini kembali ke sistem lama, yang dulu pernah ramai-ramai dibusuk-busukkan, dihancurkan, dan dikubur dalam-dalam oleh nota bene elite yang sama, tapi kini hendak digangsir dan ditegakkan lagi, hanya gara-gara --diakui atau tidak-- kubunya gagal memenangi kompetisi dalam pemilu.

Demokrat bahkan harus solid mengamankan demokrasi langsung yang telah terlanjur dipandang menjadi vaandelnya itu. Bila perlu, Demokrat harus mengambil inisiatif sebagai kekuatan peletak konvensi (norma hukum tidak tertulis) bahwa siapa memenangi pemilu, tak peduli berapa pun prosentasenya, dia otomatis memegang palu ketua parlemen. Yang kalah harus gentle menunggu berkompetisi lagi 5 tahun ke depan. Itulah salah satu hikmat kebijaksanaan, yang dengan itu negara bisa stabil, elitenya bisa terhormat dan dihormati oleh rakyatnya serta menjadi teladan sampai ke akar rumput.

Beestenmarkt, 25 September 2014

Keterengan Penulis
Penulis adalah koresponden detikcom di Belanda. Tulisan ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan redaksi.

(es/es)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads