Perjalanan hidup seorang Anas Urbaningrum naik turun. Pernah menjadi sosok termuda yang menjadi ketum partai politik, karier politik Anas anjlok setelah dia ditetapkan sebagai tersangka kasus Hambalang. Sebuah kisah yang berawal dari kegagalan seorang mahasiswa Universitas Airlangga untuk menjadi staf pengajar.
Bisa jadi, bila Anas menjadi Dosen di Unair, jalan hidupnya tidak akan seperti sekarang. Mengenai kegagalannya untuk menjadi pengajar itu, Anas menyebut hal itu menjadi kekecewaan besar baginya, sampai-sampai dia tak lagi berani untuk mematok suatu cita-cita.
"Saya lulusan terbaik. Saya merasa punya hak untuk menjadi dosen. Saya daftar menjadi tenaga pengajar, di kampus saya, tapi dua kali gagal," kata Anas di persidangan Kamis (4/9/2014) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cerita inilah yang disampaikan Anas untuk menyanggah dakwaan dan surat tuntutan jaksa, yang menyebutkan dia mengumpulkan dana untuk rencana pencapresan pada 2014 ini. Salah satu cara penggalangan dana ini, kata jaksa, yakni dengan mengatur proyek Hambalang.
"Persepsi yang dibangun atas dakwaan bahwa sejak tahun 2005 terdakwa sudah berniat untuk mempersiapkan diri untuk menjadi presiden, itu tidak masuk akal," ujar Anas membacakan nota pembelaan di PN Tipikor, Jakarta, Kamis (18/9/2014).
Mantan anggota KPU ini juga membantah telah menerima Rp 94 miliar dan USD 5,2 juta sebagaimana yang tertuang dalam surat tuntutan sebagai uang pengganti yang harus dikembalikan. Anas menyebut tidak ada uang dari proyek Hambalang yang digunakan tim pemenangannya dalam kongres Partai Demokrat pada 2010, ajang kontestasi di mana dia keluar sebagai Ketum Demokrat.
"Mengkaitkan terdakwa selaku anggota DPR dengan proyek-proyek mitra kerja dan tuduhan menerima hadiah berupa uang, barang dan fasilitas sebesar Rp 118,704 miliar dan USD 5,261 juta adalah pemaksaan dakwaan. Dan tuntutan tidak berdasar, tidak berbasis logika dan bukti," ujar Anas.
Menurut Anas, angka tersebut murni berasal dari kesaksian M Nazaruddin didukung oleh orang-orang dekat dia. Anas menyebut kesaksian itu tidak didukung bukti-bukti yang ada. Oleh karena itu, menurut Anas, karena pidana awal tidak terbukti dengan sendirinya dakwaan mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) juga tidak perlu dibuktikan.
Mengenai uang yang digunakan untuk membeli tanah di Mantrijeron Yogyakarta, kata Anas, murni didapatkan oleh mertuanya, Attabik Ali dari hasil bisnis dan sumbangan. Anas mengakui Attabik yang merupakan pemimpin pesantren masih menggunakan metode pencatatan keuangan yang belum modern. "Tetapi kelemahan administrasi bukanlah alasan untuk menyebut itu sebagai tindak pidana pencucian uang. Kalau kelemahan administrasi dikaitkan dengan tindak pidana padahal tidak terbukti ada predicate crime, hal itu akan membahayakan hak-hak warga negara khususnya di kalangan pesantren yang belum terbiasa dengan sistem administrasi yang rapi," kata Anas.
Karena merasa tidak melakukan satu kesalahan pun, seperti yang menjadi tuntutan jaksa, Anas lantas menuding surat tuntutan tersebut dibuat melalui mekanisme yang tidak semestinya. "Tuntutan hukuman badan 15 tahun itu menjadi angka yang berjalan sendirian dan terlepas dari konteks fakta-fakta persidangan tetapi juga terasa dimotivasi oleh sesuatu yang tersembunyi dan penuh misteri," kata Anas.
Meski membantah seluruh tuntutan jaksa, Anas memiliki satu penyesalan besar yang secara tidak langsung memiliki kaitan dengan perkara Hambalang yang menjeratnya.
"Saya menyesal. Menyesal mau didorong jadi ketum pada waktu itu," kata Anas. Eks Ketua Fraksi Demokrat di DPR ini berandai, bila saja kala itu dia menolak dicalonkan, dia tidak akan duduk di kursi terdakwa. "Barangkali tidak ada kejadian seperti ini," kata Anas.
(fjp/imk)