Dalam banyak diskursus tentang demokrasi, kata partisipasi tidak dapat terpisahkan. Dewasa ini, varian partisipasi pun juga semakin berkembang, dan Indonesia sebagai negara yang baru saja lepas dari fase transisi demokrasi perlu mengapresiasi varian-varian ini.
Sejak digulirkan era otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan dari pusat ke daerah, partisipasi rakyat dalam demokrasi juga ikut berkembang di tingkat daerah. Kini, tata kelola demokrasi juga berkembang di tingkat lokal, ditandai dengan lahirnya organisasi non-pemerintah (NGO) lokal, media lokal, dan juga aktor-aktor lokal lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wacana RUU Pilkada yang memunculkan opsi pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD jelas menimbulkan keresahan di antara rakyat yang sedang euphoria partisipasi politik. Ada kesan upaya pemasungan semangat rakyat untuk berpolitik dan partisipasi dalam demokrasi. Ditambah dengan sentimen negatif yang masih dominan terhadap partai politik dan lembaga legislatif. Inilah yang membuat rakyat cenderung tidak setuju pemilihan Kepala Daerah melalui ‘musyawarah’ DPRD.
Mengutip sila ke-4 Pancasila, ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan’. Penulis memahaminya, bahwa mekanisme musyawarah berbasis wakil bisa dengan baik dilakukan bila para wakilnya memiliki hikmat (teladan/integritas) dan mampu berpikir bijaksana.
Bola partisipasi demokrasi ini bergulir sangat cepat, sistem demokrasi Indonesia perlu mengakomodasi aspirasi rakyat dengan memberikan kesempatan pemilihan langsung di tingkat pusat dan daerah. Kehadiran demokrasi di tingkat lokal telah mendorong kualitas demokrasi negeri ini melangkah maju. RUU Pilkada diharapkan tetap mampu mengakomodasi kepentingan rakyat sebagai pemilik demokrasi Indonesia.
Keterangan Penulis
Penulis adalah peneliti Politik dan Perencanaan Pembangunan di Indonesia Strategic Institute (INSTRAT) berbasis di Bandung
(es/es)