"Ada 10 alasan mengapa DPR hiperaktif membuat UU. Salah satunya soal anggaran," kata akademisi Fakultas Hukum Universites Jember (Unej), Dr Bayu Dwi Anggono, saat berbincang dengan detikcom, Selasa (23/9/2014).
Sedikitnya ada 11 kementerian atau lembaga negara yang menganggarkan alokasi Rp 3 miliar hingga Rp 10 miliar untuk menggolkan satu UU. Ada juga yang hanya menganggarkan Rp 500 jutaan. Nah, dari usulan kementerian/lembaga negara itu tidak semuanya disahkan menjadi UU yaitu hanya 45 persen. Hal ini, menurut Dr Bayu, menunjukkan inefesiensi perencanaan dan penganggaran karena investasi negara yang tidak sedikit ternyata tidak mencapai output yang optimal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Motif anggaran tersebut menjadikan materi UU tidak layak menjadi UU tetapi tetap disahkan. Selain itu, faktor kemampuan dan motivasi anggota DPR sebagai pembentuk UU (law maker) dinilai belum mapan. Hal ini dipicu dua faktor yaitu politik mayoritas yang menjadi dasar pembentukan UU, bukan ukuran konstitusional.
"Kedua, anggota DPR terlalu banyak terlibat dalam hal-hal teknis yang seharusnya hal itu bisa dilakukan oleh staf ahli," papar Dr Bayu.
Namun RUU yang tidak layak dijadikan UU bukan kesalahan DPR semata. Pemerintah yang mengusulkan adakalanya juga menggebu-gebu menjadikan RUU menjadi UU, terutama RUU warisan pemerintahan sebelumnya. Malah, tidak sedikit kementerian yang main mata dengan DPR.
"Bahkan ada menteri membuat RUU sendiri tetapi tidak dimasukkan sebagai usul RUU melalui Kementerian Hukum dan HAM, melainkan dititipkan kepada sejumlah anggota komisi tertentu di DPR agar menjadi RUU inisiatif DPR," papar pengajar hukum tata negara itu.
(asp/nrl)