Ahli Pidana: Kalau Tak Setuju Hukuman Mati, Jangan Jadi Hakim Agung

Ahli Pidana: Kalau Tak Setuju Hukuman Mati, Jangan Jadi Hakim Agung

- detikNews
Senin, 22 Sep 2014 15:48 WIB
ilustrasi (dok.detikcom)
Jakarta - Hukuman mati masih diakui dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia. Oleh sebab itu jika ada hakim yang kontra terhadap hukuman mati maka bisa disebut inkonstitusional.

"Setuju atau tidak setuju, kalau menolak adanya pidana mati tidak usah menjadi hakim agung karena dari awal saja pandangannya sudah inkonstitusional," kata ahli hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta Muhammad Mudzakir, saat dihubungi detikcom, Senin (22/9/2014).

DPR baru saja meloloskan 4 dari 5 calon hakim agung rekomendasi KY menjadi hakim hakim agung. Hakim-hakim agung tersebut diharapkan menerima pandangan bahwa hukuman mati di Indonesia adalah sesuatu yang legal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mudzakir juga mengatakan bahwa hukuman mati bisa mengurangi upaya masyarakat untuk main hakim sendiri. Mereka akan memilih menyerahkan perkara mereka ke pengadilan karena percaya bahwa hakim bisa memberikan vonis berat, salah satunya berupa hukuman mati.

"Sebenarnya hukuman mati kan tergantung kasusnya, motivasi terdakwa apa, dan lain lain. Justru kalau tidak ada hukuman mati itu akan memicu masyarakat main hakim sendiri, malah nanti hukum rimba yang berlaku," jelasnya.

Dalam catatan detikcom, hakim agung Andi Abu Ayyub Saleh konsisten menerapkan hukuman mati saat menjadi ketua majelis di dua kasus pembunuhan. Yaitu saat memvonis mati Slamet Riyanto dan Herris Marbun. Di dua kasus itu, Andi Abu Ayyub Saleh satu majelis dengan Dr Dudu Duswara dan Dr Margono.

(rna/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads