Survei ini dilakukan kepada ahli yang terdiri dari akademisi, praktisi hukum dan aktivis kemasyarakatan sebanyak 193 orang.
"Hakim dalam memutus perkara secara independen hanya sebagian kecil kasus saja (56 persen). Sedangkan untuk sebagian besar kasus (17 persen) tidak independen, untuk semua kasus sebanyak 17 persen responden dan untuk semua kasus 5 persen," lansir ILR yang dikutip detikcom dari buku Indeks Negara Hukum Indonesia 2013, Senin (22/9/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Faktor yang dianggap paling banyak mempengarui independensi hakim adalah para pihak yang berperkara dengan cara menyuap," lanjut ILR yang bekerjasama dengan Tahir Foundation dalam melakukan riset itu.
Di samping masalah suap, ahli juga meyakini bahwa dalam memutus sebagian kecil kasus, hakim masih dapat dipengaruhi oleh opini publik (25,56 persen dari 50 persen responden yang menjawab). Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) untuk sebagian kecil dianggap masih dapat mempengaruhi independensi hakim.
Di sisi lain, responden menilai gaji hakim sudah layak (47 persen), bahkan 36 persen sudah sangat layak. Saat ini gaji untuk masa kerja 0 bulan sebesar Rp 11 juta, hakim tinggi Rp 40 juta dan gaji hakim agung Rp 75 juta.
Adapun pengawasan hakim oleh Mahkamah Agung (MA) 64 persen responden menilai kurang efektif. Sedangkan pengawasan oleh Komisi Yudisial (KY) 51 persen juga menilai kurang efektif.
(asp/try)